Google Translate

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Senin, 01 Desember 2014

cukur jembut,eh malah ketemu tempek nganggur

Untuk membentuk agar bulu
kemaluanku tumbuh dengan
rapih, suatu hari timbul niat
isengku untuk mencukur total.
Kusiapkan alat-alat dahulu
sebelum kumulai aksinya. Mulai
dari gunting, kaca cermin, lampu
duduk, dan koran bekas untuk
alas agar bekas cukuran tidak
berantakan kemana-mana.
Kupasang cermin seukuran buku
tulis tepat di depan kemaluanku
untuk melihat bagian bawah yang
tidak terlihat secara langsung.
Tidak lupa pula kunyalakan lampu
duduk di antara selangkanganku.
Kumulai pelan-pelan, kugerakkan
pisau cukur dari atas ke bawah.
Baru mulai aku menggoreskan
pisau cukur itu, aku dengar suara
langkah masuk ke kamarku,
segera aku lihat bayangan di kaca
buffet, tidak jelas benar, tapi aku
bisa menebaknya bahwa dia
adalah si Eni, kemenakan dari ibu
kost.
Aku bingung juga, mau
membereskan perangkat ini
terlalu repot, tidak sempat.
Memang aku melakukan
kesalahan fatal, aku lupa
mengunci pintu depan ketika
kumulai kegiatan ini. Akhirnya
dalam hitungan detik muncul juga
wajah si Eni ke dalam kamarku.
Dalam waktu yang singkat itu, aku
sempat meraih celana dalamku
untuk menutupi kemaluanku.
Sambil meringis berbasa-basi
sekenanya.
“He.. he.. ada apa En..?” sapaku
gelagapan.
“Eh, Mas Adi lagi ngapain..?” kata
Eni yang nampaknya juga sedang
menyembunyikan kegugupannya.
Si Eni memang akrab dengan
saya, dia sering minta bimbingan
dalam hal pelajaran di sekolahnya.
Khususnya pada mata pelajaran
matematika yang memang
menjadi kegemaranku. Eni sendiri
masih sekolah di SMU. Berkata
jorok memang sering kami saling
lakukan tetapi hanya sebatas
bicara saja. Apalagi Eni juga
menanggapinya, dengan
perkataan yang tidak kalah
joroknya. Tapi hanya sebatas
itulah.
Kembali pada adegan tadi, dimana
aku tengah kehabisan akal
menanggapi kehadirannya yang
memergokiku sedang mencukur
bulu kemaluan. Akhirnya kubuka
juga kekakuan ini.
“Enggak apa-apa En, biasa..
kegiatan rutin.”
“Apaan sih..?”
“Eni sudah berusia 17 tahun
belum..?”
“Emangnya kenapa kalau udah..?”
kata Eni masih berdiri dengan
canggung sambil terus
menatapku dengan serius.
“Gini En, aku khan lagi nyukur ini
nih, aku minta tolong kamu
bantuin aku. Soalnya di bagian ini
susah nyukur sendiri..” kataku
sambil kuulurkan pisau cukur
padanya.
“Mas Adi, ih..!” tapi ia terima juga
pisau cukurnya, sambil duduk di
dekatku.
Aku angkat celana yang tadi
hanya kututupkan di atas
kemaluanku.
“Eni tutup dulu pintunya yach
Mas..?”
Dia menutup pintu depan dan
pintu kamar. Sebenarnya masih
ada pintu belakang yang
langsung menuju ke dapur rumah
induk. Namun pada jam segini
aku yakin bahwa tidak ada orang
di dalam. Selesai Eni menutup
pintu, dia agak kaget melihat
kemaluanku terbuka, sambil
menutup mulutnya ia meminta
agar aku menutupnya.
“Tutup itunya dong..!” katanya
dengan manja.
Aku katupkan kedua pahaku,
batang kemaluanku aku selipkan
di antaranya, sehingga tidak
terlihat dari atas, sedangkan
bulunya terlihat dengan jelas.
“Nah begini khan nggak terlihat..”
kataku, dan Eni nampaknya setuju
juga.
Eni ragu-ragu untuk
melakukannya, namun segera aku
yakinkan.
“Nggak apa-apa En, kamu khan
sudah 17 tahun, berarti sudah
bukan anak-anak lagi, lagian khan
cuman bulu, kamu juga punya
khan, udah nggak apa-apa. Nanti
kalau aku sakit, aku bilang deh..”
“Bukannya apa-apa, aku geli hi..
hi..” sambil cekikikan.
Dengan super hati-hati dia
gerakkan juga pisau cukur mulai
menghabisi bulu-bulu
kemaluanku. Karena terlalu hati-
hatinya maka ia harus
melakukannya dengan berulang-
ulang untuk satu bagian saja.
Sentuhan-sentuhan kecil
tangannya di pahaku mulai
menimbulkan getaran yang tidak
bisa kusembunyikan. Dan ini
membuat kemaluanku semakin
tegang, tidak hanya itu, hal ini
juga menyebabkan siksaan
tersendiri. Dengan posisi tegang
dan tercepit di antara pahaku
menjadikan kemaluanku semakin
pegal. Sampai akhirnya tidak bisa
kutahan, kukendorkan jepitan
kedua pahaku, sehingga dengan
cepat meluncurlah sebuah
tongkat panjang dan keras
mengacung ke atas menyentuh
tangan Eni yang masih sibuk
mempermainkan pisau cukurnya.
Begitu tersentuh tangannya oleh
benda kenyal panas kemaluanku,
dia kaget dan hampir berteriak.
“Oh, apa ini Mas..? Kok dilepas..?”
katanya gugup ketika menyadari
bahwa batang kemaluanku lepas
dari jepitan dan mengarah ke
atas.
“Iya En. Habis nggak tahan. Nggak
apa-apa deh, dihadapan cewek
harus kelihatan lebih gagah gitu..”
“Mas Adi sengaja ya..?”
“Suer.., ini cuma normal.”
Eni masih memperhatikan
kemaluanku yang sudah besar
dan kencang dengan wajah yang
sulit digambarkan. Antara takut
dan ingin tahu. Lalu dia raih kain
yang ada di dekatku untuk
menutupinya.
“Kenapa ditutup En..?”
“Aku takut, abis punya Mas Adi
besar banget.”"Emangnya Eni
belum pernah melihat kemaluan
laki-laki..?” tanya saya.
Eni diam saja, tapi digelengkan
kepalanya dengan lemah.
“Ayo deh diteruskan,” bisikku.
Kali ini Eni menjadi super hati-hati
mencukurnya. Mungkin takut
tersentuh kemaluanku.
Sedangkan aku sangat ingin
tersentuh olehnya. Tapi aku
khawatir dia semakin takut saja.
Akhirnya kubiarkan saja dia
menyelesaikan tugasnya dengan
caranya sendiri.
Akhirnya harapanku sebagian
terkabul juga. Ketika Eni mulai
mencukur bulu bagian samping
kemaluanku, mau tidak mau dia
harus menyingkirkan
kemaluanku.
“Maaf ya Mas..!” dengan tangan
kirinya ia mendorong kemaluanku
yang masih tertutup kain bagian
atasnya ke arah kiri, sehingga
bagian kanannya agak leluasa.
Untuk lebih membuka areal ini,
aku rebahkan tubuhku dan
kubentangkan sebelah kakiku.
Eni dengan sabar memainkan
pisau cukurnya membersihkan
bulu-bulu yang menempel di
sekitar kemaluanku, nafasnya
mulai memburu, dan kutebak saja
bahwa dia juga sedang horny.
Walaupun masih dengan ragu-
ragu dia tetap memegang
kemaluanku. Didorong ke kiri, ke
kanan, ke atas dan ke bawah. Aku
hanya merasakan kenikmatan
yang luar biasa. Tanpa kusadari
kain penutup kepala kemaluanku
sudah tersingkap, dan ini
nampaknya dibiarkan saja oleh
Eni, yang sekali-kali melirik juga ke
arah kepala kemaluanku yang
mulus dan besar itu.
Lama-kalamaan, Eni semakin
terbiasa dengan benda
menakjubkan itu. Dengan berani,
akhirnya dia singkapkan kain
yang menutup sebagian
kemaluanku itu. Dengan terbuka
begitu, maka dengan lebih leluasa
dia dapat menyantap
pemandangan yang jarang terjadi
ini. Aku diam saja, karena aku
sangat menyukainya serta bangga
mendapat kesempatkan untuk
mempertontonkan batang
kemaluanku yang lumayan besar.
“Udah bersih Mas..”
Kulihat kamaluanku sudah
pelontos, gundul. Wah, jelek juga
tanpa bulu, pikirku.
“Di bawah bijinya udah belum
En..?” aku pura-pura tidak tahu
bahwa di daerah itu jarang ada
bulu.
Lalu dengan hati-hati ia sigkapkan
kedua bijiku ke atas. Uh, rasanya
enak sekali.
“Udah bersih juga Mas..” ia
mengulanginya.
Katanya datar saja. Menandakan
bahwa hatinya sedang ada
kecamuk. Aku tarik lengannya,
dan dengan sengaja kusenggol
payudaranya, dan kukecup
keningnya.
“Terima kasih ya En..!”
Tanpa kusadari, sejak dia
memberanikan diri mencukur
bulu kemaluanku tadi, buah
dadanya yang berukuran sedang
terus menempel pada dengkulku.
Begitu kukecup keningnya, dia
diam saja, mematung sambil
menundukkan mukanya. Lalu
kuangkat dagunya dan kucium
bibirnya, kupeluk sepuas-puasnya.
Keremas paudaranya dan
nafasnya makin memburu. Aku
raih kemaluannya tapi dia diam
saja, kuselipnkan satu jarinya dari
sela-sela celana dalamnya. Wah,
ternyata sudah basah bukan
main. Namun Eni segera terkejut,
dan melepaskan diri dariku. Disun
pipiku, dan dia segera lari ke
rumah induk lewat pintu
belakang.
Aku benar-benar puas,
kupandangi tampang kemaluan
gundulku yang masih tegak.
“Suatu saat nanti engkau akan
mendapat bagiannya..” kataku
dalam hati.
Sejak peristiwa itu, kami memang
tidak pernah bertemu dua mata
dalam suasana yang sepi. Selalu
saja ada orang lain yang hilir
mudik di kamarku. Sampai
akhirnya liburan datang dan kami
semua masing-masing pulang
kampung untuk beberapa waktu.
Liburan sekolah sudah selesai, Eni
sudah datang lagi setelah berlibur
ke rumah orang tuanya di
Tabanan, Bali. Begitu juga aku
yang datang sebelum masa
kuliahku dimulai.
Waktu itu hujan deras. Eni masih
berada di kamarku (suasananya
sepi karena tidak ada orang sama
sekali, termasuk di rumah induk)
untuk minta bimbingan atas
pelajarannya. Begitu selesai, Eni
menyandarkan tubuhnya ke
dadaku sambil berkata.
“Mas, itunya sudah tumbuh lagi
belum..? Hi.. hi..” sambilnya ketawa
cekikikan.
“Oh, itu..? Lihat aja sendiri.” sambil
kupelorotkan celana pendekku
sampai lepas, dan kemaluanku
yang masih lunglai menggantung.
“Mas Adi ih, ngawur..” katanya.
Tapi walaupun demikian, ia
santap juga pemandangan itu
sambil menyibakkan sebagian T-
Shirt-ku yang menutupi daerah
itu. Bulu-bulu yang sudah rapih
memenuhi lagi sekitar
kemaluanku, segera terlihat
dengan jelas.
“Nah, begitu khan lebih oke..”
katanya.
“Aku kapok En, nggak mau
nyukur plontos lagi.”
“Kenapa Mas..?”
“Waktu mau numbuh. Bulunya
tajam-tajam dan itu menusuk
batangku.”
“Habis Mas Adi sukanya macem-
macem sih..!” sambil terus
memandang kemaluanku yang
masih tergantung lunglai, “Mas,
kok itunya lemes sih..?”
“Iya En, sebentar juga gede, asal
diusap-usap biar seneng.”
“Ah Mas Adi sih senengnya enak
terus.”
Walaupun berkata seperti itu, mau
juga Eni mulai memegang
kemaluanku dan digerak-
gerakkan ke kanan dan ke kiri.
Membuat batang kemaluanku
semakin besar, keras dan
mengacung ke atas. Eni makin
menyandarkan kepalanya ke
dadaku. Dan langsung saja saya
peluk dia, sedemikian rupa
hingga payudaranya tesentuh
tangan kiriku. Rupanya Eni tidak
pakai BH, sehingga kekenyalan
payudaranya langsung terasa
olehku. Kupermainkan
payudaranya, aku pencet,
menjadikan Eni terdiam seribu
bahasa tetapi nafasnya semakin
cepat. Demikian pula Eni dengan
hati-hati memainkan kemaluanku,
masih terus dibolak-balik, ke
kanan dan ke kiri.
Aku cium bibir Eni, dan dia
menanggapinya dengan tidak
kalah agresifnya. Barangkali inilah
suatu yang ditungu-tunggu. Aku
lepas blouse-nya, dan
payudaranya yang masih kencang
dan mulus dengan putingnya
yang kecil berwarna coklat muda
segera terpampang dengan jelas.
Karena tidak tahan, aku langsung
menciuminya. Hal ini menjadikan
Eni semakin menggeliatkan
tubuhnya, tandanya dia merasa
nikmat. Aku ikuti dia ketika dia
mambaringkan tubuhnya di
tempat tidur. Aku hisap-hisap
puting payudaranya, sementara
rok dan celananya kupelorotkan.
Eni setuju saja, hal ini ditunjukkan
dengan diangkatnya pantat untuk
memudahkanku melepaskan
pakaian yang tersisa.
Begitu pakaian bagian bawah
terlepas, segera tersembul bukit
mungil di antara
selangkangannya, rambutnya
masih jarang, nyaris tidak
kelihatan. Sekilas hanya terlihat
lipatan kecil di bagian bawahnya.
Pemandangan ini sungguh
membuat nafsuku semakin
memuncak. Begitu kuraba bagian
itu, terasa lembut. Makin dalam
lagi barulah terasa bahwa dia
sudah banyak berair. Eni masih
merem-melek, tangannya tidak
mau lepas dari kemaluanku.
Begitu pula ketika kulepas
pakaianku. Tangan Eni tidak mau
lepas dari alat vitalku yang
semakin keras saja.
Begitu aku sudah dalam keadaan
bugil, aku kembali
mempermainkan kemaluannya,
ketika jari tengahku mau
memasuki vaginanya yang sudah
banjir itu. Pinggulnya
digoyangkannya tanda mengelak,
aku hampir putus asa.
Tetapi kudengar suara manjanya,
“Jangan pakai tangan Mas. Pakai
itu saja.” sambil menarik-narik
alat vitalku ke arah vaginanya.
Aku segera mengambil posisi.
Tangan lembutnya
membimbingnya untuk memasuki
arah yang tepat. Kugosok-
gosokkan sebentar di bibir
vaginanya yang berlendir itu.
Rasanya nikmat sekali. Setelah
kurasa tepat berada di ambang
lubangnya, aku dorong sedikit,
agar bisa memasukinya. Tapi
nampaknya tidak mau masuk. Aku
coba sekali lagi, tidak mau masuk
juga.
“Kamu masih perawan En..?”
akhirnya aku tanya dia.
Diantara jelita dan wajahnya yang
sudah seperti tidak sadar itu, aku
lihat kepalanya menggeleng dan
itu adalah suatu jawaban.
Usaha menembus lubang
kenikmatan itu aku tunda dulu.
Operasiku berpindah dengan
memagut-magut seluruh
tubuhnya. Eni semakin terengah-
engah menerima perlakuanku.
Erangan-erangan yang terkesan
liar semakin membuatku
bernafsu. Aku kecup putingnya,
perutnya, dan pahanya. Ketika aku
mengecup pahanya, sepintas aku
lihat vaginanya menganga,
semburat warna merah tua yang
licin sungguh menarik
perhatianku. Jilatanku makin
dekat ke arah vaginanya. Begitu
lidahku menyentuh bibir
kemaluannya, Eni berteriak
kelojotan sambil menggeleng-
gelengkan kepalanya. Aku
semakin bersemangat
menjilatinya.
Setelah kurasa jenuh, dan
kehabisan variasi menjilati
vaginanya. Kembali kuarahkan
kemaluanku ke arah barang yang
paling dilindungi wanita ini.
Kembali tangan Eni membimbing
kemaluanku. Setelah tepat di
depan gerbang kenikmatan, aku
dorong sedikit.
“Bless..”
Kepala kemaluanku bisa masuk
sedikit, Eni meringis, tapi terus
menekan bokongku. Maksudnya,
jelas agar aku masuk lebih banyak
lagi. Aku dorong lagi, tetapi
lubangya terlalu sempit. Walaupun
hanya kepala saja yang masuk,
tetapi aku berusaha memaju-
mundurkan, agar gesekan yang
nekmat itu terasa. Setelah
beberapa kali aku memaju-
mundurkan, sekali lagi aku
dorong lebih dalam lagi. Berhasil..!
Kini kemaluanku sudah sepertiga
berada di dalamnya. Aku
berusaha sabar, aku gerakkan
maju mundur lagi. Setelah
beberapa kali, aku mendorong
lagi. Begitulah kulakukan
berulang-ulang sampai semua
kemaluanku tertelan dalam
remasan vaginanya. Kudiamkan
untuk sesaat di dalam, kurasakan
denyutan-denyutan yang sangat
nikmat yang membuat seluruh
tubuhku mengejang. Kugerakkan
lagi bokongku dengan arah maju-
mundur. Tanpa kusangka, Eni
menjerit sambil mengejang.
“Terus Mas.. terus Mas.. aku
sampaaii.. ouh.. ouh..” jeritan itu
lumayan keras.
Aku segera tutup mulutnya
dengan bibirku. Bersamaan
dengan itu, kemaluanku terasa
diremas-remas. Ujung
kemaluanku seakan menyentuh
dinding yang membuatku merasa
geli bukan main. Akhirnya aku
tidak tahan juga untuk
mengeluarkan spermaku ke
dalam liang kewanitaannya.
Beberapa semprotan agaknya
semakin menjadikan Eni semakin
liar dan semakin meregangkan
tubuhnya. Kami orgasme
bersama-sama, dan itu sangat
meletihkan. Dan aku tidak ingin
cepat-cepat melupakan fantasi
yang hebat itu. Kami tertidur
untuk beberapa waktu.
Begitu aku bangun, rupanya Eni
sudah tidak ada. Yang ada
hanyalah secarik kertas menutupi
kemaluanku dengan tulisan, “YOU
ARE THE GREAT”.
Sejak saat itu, kami selalu
melakukannya secara rutin dua
minggu sekali, paling lama
sebulan sekali. Namun tidak
melakukan di rumah tetapi
kubawa ke hotel di luar kota
secara berganti-ganti yang
kemungkinan kecil untuk
diketahui oleh orang yang kami
kenal. Sampai akhirnya, kami
berpisah. Aku lulus dan diterima
kerja di luar kota. Eni kuliah di
kota yang jauh sekali dari
tempatku berada. Kalau ia
membaca tulisan ini, maka ia akan
bersyukur karena namanya sudah
aku samarkan. Sekedar untuk
mengingatkan saja ketika kami
begituan, kemaluannya kujuluki
TEMBEM. Dan ia menyebut
kemaluanku dengan julukan TOLE