Google Translate

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Rabu, 19 Februari 2014

Nikmatnya Ngentot Dengan Mertua


Ini berawal saat ibunya sakit dan harus masuk rumah sakit dan Paul harus terbang ke luar kota untuk urusan bisnis yang amat penting. Paul tadinya tak setuju saat Emma meminta papanya, Jack, agar menginap di rumah mereka untuk sementara untuk menemaninya pergi ke rumah sakit, mengatakan padanya bagaimana hal itu akan mengganggu pikirannya karena dia adalah titik penting dalam negosiasi kali ini.

Dan pikiran yang sangat mengganggunya itu adalah karena dia curiga sudah sejak dulu papanya ada 'perasaan lain' pada Emma istrinya. Emma merasa sangat marah pada Paul, karena sangat egois dan dengan perasaan cemburunya itu. Bukan hanya kali ini Paul meragukan kesetiaannya terhadap perkawinan mereka dan kali ini dia merasa telah berada dalam puncaknya.. Dan dia tahu dia akan membuat Paul membayar sikapnya yang menjengkelkan itu.

Ketika itu terjadi, Jack tiba pada hari sebelum Paul terbang ke luar kota untuk bertemu kliennya. Dia tidak membiarkan kedatangan Jack mengganggu jadwalnya, meskipun dia akan membiarkan papanya bersama Emma tanpa dia dapat mengawasinya selama beberapa hari kedepan. Ini adalah segala yang Emma harapkan dan lebih, ketika dia menyambut Jack dengan secangkir teh yang menyenangkan..

Dia bisa katakan dari perhatian Jack yang ditunjukkannya pada kunjungan itu. Mata Jack berbinar saat dia tahu Paul akan pergi besok pagi-pagi benar, dan dia mendapatkan Emma sendirian dalam beberapa hari bersamanya. Emma sangat menarik, yang sungguhpun dia tahu sudah tidak punya kesempatan terhadap Emma, dia masih berpegang pada harapannya, dan berbuat yang terbaik untuk mengesankannya, dan menggodanya.

Emma tersanjung oleh perhatiannya, dan menjawab dengan mengundang bahwa mereka berdua dapat mulai untuk membiarkan harapan dan pemikiran yang telah dia kubur sebelumnya untuk mulai kembali ke garis depan itu.

Sudah terlambat untuk jam kunjungan rumah sakit sore itu, sehingga mereka akan kembali lagi esok paginya sekitar jam sebelas. Emma menuangkan beberapa gelas wine untuk mereka berdua sekembalinya dari rumah sakit petang itu.

"Aku harus pergi dan mandi.. Aku kira aku tidak punya waktu pagi nanti".
"Oh bisakah Papa membiarkan showernya tetap hidup? Aku juga mau mandi jika Papa tidak keberatan."

Emma mau tak mau nanti akan menyentuh dirinya di dalam shower, bayangan tangan Jack pada tubuhnya terlalu menggoda dan rasa marah terhadap suaminya sangat sukar untuk dienyahkan dari pikirannya.

Dia belum terlalu sering mengenakan jubah mandi sutera itu sebelumnya, tetapi memutuskan untuk memakainya malam ini. Hasrat hatinya mendorongnya untuk melakukannya untuk Papa mertuanya, Paul bisa protes padanya jika dia ingin. Terlihat pas di pinggangnya dan dengan tali terikat, membuat dadanya tertekan sempurna. Itu nampak terlalu 'intim' saat dia menunjukkan kamar mandi di lantai atas. Emma meninggalkannya, dan kemudian kembali semenit kemudian.

"Aku menemukan salah satu jubah mandi Paul untuk Papa" dia berkata tanpa berpikir saat dia membukakan pintu untuknya. Di dalam cahaya yang remang-remang Emma dapat melihat pantatnya yang atletis.

Mereka duduk bersama di atas sofa, melihat TV. Dan setelah dua gelas wine lagi, Emma tahu dia akan mendorong 'keinginan' manapun yang Jack ingin lakukan. Dia sedikit lebih tinggi dari Paul, maka jubahnya hanya sampai setengah paha berototnya. Mau tak mau Emma meliriknya sekilas dan ingin melihat lebih jauh lagi. Dengan cara yang sama, Jack sulit percaya akan keberuntungannya untuk duduk disamping Emma yang berpakaian sangat menggoda dan benaknya mulai membayangkan lebih jauh lagi. Jack akan dikejutkan nantinya jika dia kemudian mengetahui hal sederhana apa yang akan membuat hasratnya semakin mengakar..

Besok adalah hari ulang tahun Emma, dan Paul lupa seperti biasanya, alasannya bahwa tidak ada waktu untuk lakukan apapun ketika dia sedang pergi, dan dia telah berjanji pada Emma kalau dia akan berusaha untuk mengajaknya untuk sebuah dinner yang manis ketika pulang. Kenyataannya bahwa Jack tidak hanya tidak melupakan, tetapi membawakannya sebuah hadiah yang menyenangkan seperti itu, menjadikan hatinya lebih hangat lagi. Dia seperti seorang anak perempuan kecil yang sedang membuka kotak, dan menarik sebuah kalung emas.

"Oh Papa.. Papa seharusnya tidak perlu.. Ini indah sekali"
"Tentu saja aku harus.. Tapi aku takut itu tidak bisa membuat kamu lebih cantik cintaku.. Sini biarku kupasangkan untukmu"
"Ohh Papa!"

Emma merasa ada semacam perasaan cinta untuknya saat dia berada di belakangnya. Dia harus lebih dulu mengendurkan jubah untuk membiarkan dia memasang kaitan di belakang, dan ketika dia berbalik ke arahnya, Jack tidak bisa menghindari tetapi matanya mengarah pada belahan dada Emma yang menyenangkan.

"Oh.. Apa rantainya kepanjangan?" ia berharap, menatap kalung yang melingkar di atas dada lezatnya.
"Tidak Pa.. Ini menyenangkan" dia tersenyum, menangkap dia memandang ke sana lebih banyak dari yang seharusnya diperlukan.
"Oh terima kasih banyak.."

Emma menciumnya dengan agak antusias dibanding yang perlu dilakukannya dan putus tiba-tiba dengan sebuah gairah dipermalukan. Kemudian Jack menangkap momen itu, menarik punggungnya seolah-olah meredakan kebingungannya dan menciumnya dengan perasaan jauh lebih dibandingkan perasaan seorang mertua.

"Selamat ulang tahun sayang" katanya, saat senyuman mereka berubah jadi lebih serius.
"Oh terimakasih Papa"

Emma menciumnya kembali, menyadari ini adalah titik yang tak bisa kembali lagi, dan kali ini membiarkan lidahnya 'bermalas-malasan' terhadapnya. Dia baru saja mempunyai waktu untuk merapatkan jubahnya kembali saat Paul meneleponnya untuk mengucapkan selamat malam dan sedikit investigasi. Paul ingin bicara pada papanya dan memintanya agar menyimpan cintanya untuk ibunya yang sudah meninggal. Mata Emma tertuju pada Jack saat dia menenteramkan hati putranya di telepon, mengetahui dia akan membiarkan pria ini melakukan apapun..

"Aku sangat suka ini Pa.." Emma tersenyum ketika telepon dari Paul berakhir. Dia menggunakan alasan memperhatikan kalungnya untuk membuka jubahnya lagi, kali ini sedikit lebih lebar.
"Apa kamu pikir ini cocok untukku?"
"Mm oh ya.." dia tersenyum, matanya menelusuri bagian atas gundukan lezatnya, dan untuk pertama kalinya membiarkan gairahnya tumbuh.

Emma secara terbuka mempresentasikan payudaranya untuk kekasihnya, membiarkan dia menatapnya ketika dia membusungkan dadanya jauh lebih lama dibandingkan hanya sekedar untuk memandangi kalung itu. Dia mengangkat tangannya dan memegang mainan kalung itu, mengelus diantara dadanya, menatap tajam ke dalam matanya.

"Kamu terlihat luar biasa dengan memakainya" dia tersenyum.

Nafas Emma yang memburu adalah nyata ketika tangan kekasihnya telah menyentuhnya di sana, dan pandangannya yang memikat saat kekasihnya menyelami matanya memberi dia tiap-tiap dorongan. Mereka berdua tahu apa yang akan terjadi kemudian, sudah terlalu jauh untuk menghentikannya sekarang. Dia akan bercinta dengan Papa mertuanya. Mereka berdua juga menyadari, bahwa tidak perlu terburu-buru kali ini, mereka harus lebih dulu membiarkan berjalan dengan sendirinya, dan walaupun kemudian itu akan menjadi resikonya nanti.

Emma bisa melihatnya sekarang kalau 'pertunjukannya' yang nakal telah memberi efek pada gairah kekasihnya. Gundukan yang terlihat nyata di dalam jubahnya menjadikan jantungnya berdebar kencang, dan kekasihnya menjadi bangga ketika melihatnya menatap itu, seperti halnya dia yang memandangi payudaranya.

"Kamu sudah cukup merayuku.. Kamu nakal!" Emma tersenyum pada kata-kata terakhirnya, memberi dia pelukan yang lain. Pelukan itu berubah menjadi sebuah ciuman, dan kali ini mereka berdua membiarkan perasaan mereka menunjukkannya, lidah mereka saling melilit dan memukul-mukul satu sama lain. Emma merasa tali jubahnya mengendur, dan Jack segera merasakan hal yang sama.

"Oh Jack.. Kita tidak boleh" dia menjauh dari kekasihnya sebentar, tidak mampu untuk hentikan dirinya dari pemandangan jubahnya yang terbuka cukup lebar untuk melihat ujung penisnya yang tak terukur membesar diantara pahanya yang kuat.

"Ohh Emma.. Aku tahu.. Tapi kita harus" dia menarik nafas panjang, memandang pada perutnya untuk melihat kewanitaannya yang sempurna, telah merekah dan mengeluarkan cairannya. Detak jantung Emma bahkan jadi lebih cepat saat dia lihat tonjolannya menghentak lebih tinggi ke udara saat kekasihnya memandang bagian paling intimnya.

"Oh Jack sayang.." desahnya pelan saat kekasihnya memeluknya, jubahnya tersingkap dan dia terpana akan tonjolannya yang sangat besar di bagian bawahnya. Itu sepertinya memuat dua prem ranum yang membengkak dengan benihnya yang berlimpah. Dia tidak bisa hentikan dirinya sekarang.. Dia membayangkan dirinya berenang di dalamnya.

"Emma cintaku.. Betapa lamanya aku menginginkanmu.." katanya saat ia menggapai paha Emma.
"Oh Jack.. Seandainya aku tahu.. Setiap kali Paul bercinta denganku aku membayangkan itu adalah kamu yang di dalamku.. Papa termanis.. Apakah aku terlalu jahat untuk katakan hal seperti itu?"
"Tidak kekasihku.." jawabnya, mencium lehernya dan turun pada dadanya, dan membuka jubahnya lebih lebar lagi untuk agar tangannya dapat memegang payudaranya. Mereka berdua ingin memanfaatkan momen itu..
"Apakah kamu ingin aku di sana sekarang?"
"Oh Jack.. Ya.. Papa" erangnya kemudian mengangkat jubahnya dan tangannya meraih penisnya.
"Aku sangat menginginkannya"
"Oh Emma.. Kekasihku, apakah ini yang kamu ingin?" dia mengerang, memegang jarinya di sekitar batang berdenyutnya yang sangat besar.
"Oh ya Papa.. Penismu.. Aku ingin penis Papa di dalamku"
"Sayangku yang manis.. Apa kamu menginginkannya di sini?" kekasihnya melenguh, menjalankan jemarinya yang pintar sepanjang celah itu, menggodanya, membuat matanya memejam dengan nikmat. Emma hampir merintih ketika dia menatap mata kekasihnya.
"Mm penis Papa di dalam vaginaku"
"Ahh anak manisku tercinta" Emma menjilat jarinya dan menggosoknya secara lembut di atas ujung kejantanannya yang terbakar, membuat kekasihnya merasa ngeri dengan kegembiraan.
"Kamu ingin jadi nakal kan Pa.. Kamu ingin orgasme di dalamku" Emma menggoda, meninggalkan pembesaran tonjolan yang bagus, dan mengalihkan perhatiannya kepada buah zakarnya yang membengkak.

Sekarang adalah giliran kekasihnya untuk menutup matanya dengan gairah yang mengagumkan.

"Kamu ingin meletakkan spermamu di dalam istri putramu.. Kamu ingin melakukan itu di dalam vagina gadis kecilmu"

Dia hampir menembakkannya bahkan waktu Emma menggodanya, tetapi entah bagaimana menahan ombak klimaksnya, dan mengembalikannya pada Emma, keduanya sekarang saling memegang pinggang satu sama lainnya.

"Dan kamu ingin benih Papa di dalam kandunganmu kan.. Dalam kandunganmu yang dahaga.. Membuat seorang bayi kecil di dalam kandungan suburmu" dia tidak bisa semakin dekat kepada tanda untuknya.. Emma telah memimpikan kekasihnya memberinya seorang anak, Emma gemetar dan menggigit bibirnya saat jari tangan kekasihnya diselipkan di dalam saluran basahnya.

"Papa.. Oh ya.. Ya.. Tolong.. Aku sangat menginginkannya.."

Paul belum pernah punya keinginan membicarakan tentang hal itu.. Emma tidak benar-benar mengetahui apakah dia ingin seorang anak, sekalipun begitu pemikiran itu menjadi sebuah gairah yang luar biasa. Bibirnya menemukannya lagi, dan tenggelam dalam gairahnya, lidah mereka melilit lagi dengan bebas tanpa kendali yang sedemikian manis.

Emma membiarkan jubahnya terbuka seluruhnya sekarang, menekankan payudaranya secara lembut melawan dada berototnya, perasaan geli membuat cairannya lebih berlimpah. Jantungnya terisi dengan kenikmatan dan antisipasi, pada pikiran bahwa dia menginginkan dirinya.. Bahwa seluruh gairah Emma akan terpenuhi dengan segera.

"Oh gadis manisku yang jahat" lenguhnya saat bibir Emma menggodanya.
"Aku akan pergi sebentar" dia tersenyum dengan mengundang saat dia menoleh ke belakang dari pintu.
"Jangan pergi" Emma melangkah ke lantai atas, jubahnya berkibar di sekitarnya lagi saat dia memandangnya.

Emma tidak perlu merasa cemas, suaminya sedang berada jauh di sana dengan segala egoisme kesibukannya, dan Emma mengenal bagaimana kebiasaanya. Jantung Emma dilanda kegembiraan lebih ketika dia melepaskan jubahnya dan berjalan menuju dia.. Pada Papa mertuanya.. Telanjang dan siap untuk menyerahkan dirinya seluruhnya kepada kekasihnya.

Ketika dia mendengar langkah kaki Emma pada tangga, dia lalu keluar dari jubahnya dan sekarang berlutut di atas permadani di depan perapian, menghadapinya ketika dia masuk, ereksinya semakin besar dalam posisi demikian. Emma berlutut di depannya, tangannya memegang obyek hasratnya, yang berdenyut sekilas, lembut dan demikian panas dalam sentuhannya. Matanya terpejam dalam kenikmatan murni saat Emma berlutut dan mencium ujung merah delima itu, matanya terbuka meresponnya, dan mengirim beberapa tetesan cairan lezat kepada lidah penggemarnya. Kekasihnya mengelus payudaranya dan menggoda puting susunya yang gemuk itu.

"Aku sudah siap Pa.. Malam ini seutuhnya milikmu"
"Emma sayang, kamu indah sekali.." kekasihnya memujinya dan dia tersenyum dengan bangga.
"Oh Papa.. Kumohon. Aku sangat menginginkannya.. Aku ingin benihmu di dalamku"
"Sepanjang malam cintaku.." kekasihnya tersenyum, rebah bertumpu pada sikunya lalu menyelipkan tangannya diantara paha Emma.
"Kita berbagi tiap momen"

Emma rebahan pada punggungnya, melebarkan lututnya membiarkan jari kekasihnya berada di dalam rendaman vulvanya.

"Ohh mm Papa sayang.." Emma melenguh saat jari kekasihnya merangsang tunas kesenangannya tanpa ampun.
"Mm betapa aku sangat memuja perempuan kecilku.." Kekasihnya menggodanya ketika wajahnya menggeliat di puncak kesenangan.
"Ohh Papa.. Rasakan bagaimana basahnya aku untukmu"
"Apa anakku yang manis sudah basah untuk penis Papa? Mm penis Papa di dalam vagina panas gadis kecilnya.. Penis besar Papa di dalam vagina gadisnya yang panas, vagina basah.." kata-katanya diiringi dengan tindakan saat dia bergerak di antara pahanya, tongkatnya berdenyut dengan bernafsu saat dia mempersiapkan lututnya.
"Setubuhi aku Pa.. Masukkan penismu ke dalamku"
"Sayang.. Emma yang nakal.. Buka vaginamu untuk penis Papa" tangan mereka memandu, kejantanannya membelah masuk kewanitaannya.
"Papa.. Yang besar.. Itu penuh untukku kan?"
"Ya putriku manis.. Sperma yang penuh untuk kandunganmu.. Apa kamu akan membuat Papa melakukan itu di dalam tubuhmu?"
"Ahh ya Papa.. Aku akan membuatmu menembakkannya semua ke dalam tubuhku.. Ahh ahh ahh"

Emma mulai menggerakkan pinggangnya.. Takkan menghentikan dirinya saat dia membayangkan itu. Mata mereka saling bertemu dalam sebuah kesenangan yang sempurna, mereka bergerak dengan satu tujuan, yang ditetapkan oleh kata-katanya.

"Papa akan menembakkan semuanya ke dalam kandunganmu yang subur.. Sperma Papa akan membuat bayi di dalam kandunganmu Emma sayang" tangan kekasihnya mengayun pantatnya sekarang saat dia mulai menusuk lebih dalam, matanya menatap kekasihnya ketika dia menarik pantatnya yang berotot, mendorong lebih lanjut ke dalam tubuhnya.. Memberinya hadiah yang sangat berharga.

Penis besarnya menekan dalam dan panjang, buah zakarnya yang berat menampar pantatnya saat dia mendorong ke dalam kandungannya. Dia tidak bisa menolong, hanya melihatnya, setiap gerakan mereka yang mendatangkan nikmat.. Membayangkan waktunya akan segera datang.. Memancar dari kekasihnya.. Berenang di dalam dirinya.. Membuatnya mengandung anaknya. Dia menggelinjang saat kekasihnya menyusu pada puting susunya yang diremas keras, tangan besarnya meremas payudaranya bersama-sama saat dia mengocoknya berulang-ulang.

"Ohh Papa.. Penis besarmu membuatku orgasme.. Oohh" dia berteriak, menaikkan lututnya setinggi yang dia bisa untuk memaksanya lebih dalam ke bagian terdalam vaginanya. Kekasihnya menghentak lebih cepat, meremas pantatnya untuk membuat sebuah lingkaran yang ketat pada vaginanya.. Momen yang sempurna mendekat dengan cepat saat dia menatap mata kekasihnya.

"Emma sayang.. Papa juga keluar.."
"Mm shh" Emma memperlambat gerakan kekasihnya, menenangkannya ketika waktunya datang..
"Aku ingin menahanmu saat kamu keluar.. Saat kamu memompa benihmu ke dalam tubuhku"
"Oh sayang.. Ya gadis manisku.. Tahan aku saat kukeluarkan spermaku ke dalam kandunganmu"

Dia merasa itu membesar di dalam cengkramannya, urat gemuk penisnya siap untuk berejakulasi, dan kemudian menghentak dengan liar, dan dengan masing-masing semburan yang dia rasa pancarannya yang kuat menghantam dinding kewanitaannya, membasahi hamparan ladangnya yang haus kekeringan. Bibir mereka bertemu dalam lilitan sempurna, tangisan Emma membanjiri kekasihnya kala kekasihnya menyembur dengan deras ke dalamnya. Punggung Emma melengkung, mencengkeram penisnya sangat erat saat ombak kesenangan menggulungnya. Dia ingin menahannya di sana untuk selamanya..

"Ohh Ohh aahh.. Papa melakukannya.. Isi aku.. Aahh" jantung mereka berdegup sangat keras ketika mereka berbaring bersama, terengah-engah, sampai mereka bisa berbicara.
"Oh Tuhan, Emma.. Aku sangat menginginkanmu.."

Dan untuk beberapa hari ke depan, tak ada sepatah katapun yang sanggup melukiskan momen itu..
read more “Nikmatnya Ngentot Dengan Mertua”

Barter Ngentot Dengan Tetanggaku


Isteriku bernama Resty. Ada satu kebiasaanku yang mungkin jarang orang lain miliki, yaitu keinginan sex yang tinggi. Mungkin para pembaca tidak percaya, kadang-kadang pada siang hari selagi ada tamu pun sering saya mengajak isteri saya sebentar ke kamar untuk melakukan hal itu. Yang anehnya, ternyata isteriku pun sangat menikmatinya. Walaupun demikian saya tidak pernah berniat jajan untuk mengimbangi kegilaanku pada sex. Mungkin karena belum punya anak, isteriku pun selalu siap setiap saat.

Kegilaan ini dimulai saat hadirnya tetangga baruku, entah siapa yang mulai, kami sangat akrab. Atau mungkin karena isteriku yang supel, sehingga cepat akrab dengan mereka. Suaminya juga sangat baik, usianya kira-kira sebaya denganku. Hanya isterinya, woow busyet.., selain masih muda juga cantik dan yang membuatku gila adalah bodynya yang wah, juga kulitnya sangat putih mulus.

Mereka pun sama seperti kami, belum mempunyai anak. Mereka pindah ke sini karena tugas baru suaminya yang ditempatkan perusahaannya yang baru membuka cabang di kota tempatku. Aku dan isteriku biasa memanggil mereka Mas Agus dan Mbak Rini. Selebihnya saya tidak tahu latar belakang mereka. Boleh dibilang kami seperti saudara saja karena hampir setiap hari kami ngobrol, yang terkadang di teras rumahnya atau sebaliknya.

Pada suatu malam, saya seperti biasanya berkunjung ke rumahnya, setelah ngobrol panjang lebar, Agus menawariku nonton VCD blue yang katanya baru dipinjamnya dari temannya. Aku pun tidak menolak karena selain belum jauh malam kegiatan lainnya pun tidak ada. Seperti biasanya, film blue tentu ceritanya itu-itu saja. Yang membuatku kaget, tiba-tiba isteri Agus ikut nonton bersama kami.

"Waduh, gimana ini Gus..? Nggak enak nih..!"
"Nggak apa-apalah Mas, toh itu tontonan kok, nggak bisa dipegang. Kalau Mas nggak keberatan, Mbak Res diajak sekalian." katanya menyebut isteriku.
Aku tersinggung juga waktu itu. Tapi setelah kupikir-pikir, apa salahnya? Akhirnya aku pamit sebentar untuk memanggil isteriku yang tinggal sendirian di rumah.

"Gila kamu..! Apa enaknya nonton gituan kok sama tetangga..?" kata isteriku ketika kuajak.
Akhirnya aku malu juga sama isteriku, kuputuskan untuk tidak kembali lagi ke rumah Agus. Mendingan langsung tidur saja supaya besok cepat bangun. Paginya aku tidak bertemu Agus, karena sudah lebih dahulu berangkat. Di teras rumahnya aku hanya melihat isterinya sedang minum teh. Ketika aku lewat, dia menanyaiku tentang yang tadi malam. Aku bilang Resty tidak mau kuajak sehingga aku langsung saja tidur.

Mataku jelalatan menatapinya. Busyet.., dasternya hampir transparan menampakkan lekuk tubuhnya yang sejak dulu menggodaku. Tapi ah.., mereka kan tetanggaku. Tapi dasar memang pikiranku sudah tidak beres, kutunda keberangkatanku ke kantor, aku kembali ke rumah menemui isteriku. Seperti biasanya kalau sudah begini aku langsung menarik isteriku ke tempat tidur. Mungkin karena sudah biasa Resty tidak banyak protes. Yang luar biasa adalah pagi ini aku benar-benar gila. Aku bergulat dengan isteriku seperti kesetanan. Kemaluan Resty kujilati sampai tuntas, bahkan kusedot sampai isteriku menjerit. Edan, kok aku sampai segila ini ya, padahal hari masih pagi.Tapi hal itu tidak terpikirkan olehku lagi.

Isteriku sampai terengah-engah menikmati apa yang kulakukan terhadapnya. Resty langsung memegang kemaluanku dan mengulumnya, entah kenikmatan apa yang kurasakan saat itu. Sungguh, tidak dapat kuceritakan.
"Mas.., sekarang Mas..!" pinta isteriku memelas.
Akhirnya aku mendekatkan kemaluanku ke lubang kemaluan Resty. Dan tempat tidur kami pun ikut bergoyang.

Setelah kami berdua sama-sama tergolek, tiba-tiba isteriku bertanya, "Kok Mas tiba-tiba nafsu banget sih..?"
Aku diam saja karena malu mengatakan bahwa sebenarnya Rini lah yang menaikkan tensiku pagi ini.

Sorenya Agus datang ke rumahku, "Sepertinya Mas punya kelainan sepertiku ya..?" tanyanya setelah kami berbasa-basi.
"Maksudmu apa Gus..?" tanyaku heran.
"Isteriku tadi cerita, katanya tadi pagi dia melihat Mas dan Mbak Resty bergulat setelah ngobrol dengannya."
Loh, aku heran, dari mana Rini nampak kami melakukannya? Oh iya, baru kusadari ternyata jendela kamar kami saling berhadapan.
Agus langsung menambahkan, "Nggak usah malu Mas, saya juga maniak Mas." katanya tanpa malu-malu.

"Begini saja Mas," tanpa harus memahami perasaanku, Agus langsung melanjutkan, "Aku punya ide, gimana kalau nanti malam kita bikin acara..?"
"Acara apa Gus..?" tanyaku penasaran.
"Nanti malam kita bikin pesta di rumahmu, gimana..?"
"Pesta apaan..? Gila kamu."
"Pokoknya tenang aja Mas, kamu cuman nyediain makan dan musiknya aja Mas, nanti minumannya saya yang nyediain. Kita berempat aja, sekedar refresing ajalah Mas, kan Mas belum pernah mencobanya..?"

Malamnya, menjelang pukul 20.00, Agus bersama isterinya sudah ada di rumahku. Sambil makan dan minum, kami ngobrol tentang masa muda kami. Ternyata ada persamaan di antara kami, yaitu menyukai dan cenderung maniak pada sex. Diiringi musik yang disetel oleh isteriku, ada perasaan yang agak aneh kurasakan. Aku tidak dapat menjelaskan perasaan apa ini, mungkin pengaruh minuman yang dibawakan Agus dari rumahnya.

Tiba-tiba saja nafsuku bangkit, aku mendekati isteriku dan menariknya ke pangkuanku. Musik yang tidak begitu kencang terasa seperti menyelimuti pendengaranku. Kulihat Agus juga menarik isterinya dan menciumi bibirnya. Aku semakin terangsang, Resty juga semakin bergairah. Aku belum pernah merasakan perasaan seperti ini. Tidak berapa lama Resty sudah telanjang bulat, entah kapan aku menelanjanginya. Sesaat aku merasa bersalah, kenapa aku melakukan hal ini di depan orang lain, tetapi kemudian hal itu tidak terpikirkan olehku lagi. Seolah-olah nafsuku sudah menggelegak mengalahkan pikiran normalku.

Kuperhatikan Agus perlahan-lahan mendudukkan Rini di meja yang ada di depan kami, mengangkat rok yang dikenakan isterinya, kemudian membukanya dengan cara mengangkatnya ke atas. Aku semakin tidak karuan memikirkan kenapa hal ini dapat terjadi di dalam rumahku. Tetapi itu hanya sepintas, berikutnya aku sudah menikmati permainan itu. Rini juga tinggal hanya mengenakan BH dan celana dalamnya saja, dan masih duduk di atas meja dengan lutut tertekuk dan terbuka menantang.

Perlahan-lahan Agus membuka BH Rini, tampak dua bukit putih mulus menantang menyembul setelah penutupnya terbuka.
"Kegilaan apa lagi ini..?" batinku.
Seolah-olah Agus mengerti, karena selalu saya perhatikan menawarkan bergantian denganku. Kulihat isteriku yang masih terbaring di sofa dengan mulut terbuka menantang dengan nafas tersengal menahan nafsu yang menggelora, seolah-olah tidak keberatan bila posisiku digantikan oleh Agus.

Kemudian kudekati Rini yang kini tinggal hanya mengenakan celana dalam. Dengan badan yang sedikit gemetar karena memang ini pengalaman pertamaku melakukannya dengan orang lain, kuraba pahanya yang putih mulus dengan lembut. Sementara Agus kulihat semakin beringas menciumi sekujur tubuh Resty yang biasanya aku lah yang melakukannya.

Perlahan-lahan jari-jemariku mendekati daerah kemaluan Rini. Kuelus bagian itu, walau masih tertutup celana dalam, tetapi aroma khas kemaluan wanita sudah terasa, dan bagian tersebut sudah mulai basah. Perlahan-lahan kulepas celana dalamnya dengan hati-hati sambil merebahkan badannya di atas meja. Nampak bulu-bulu yang belum begitu panjang menghiasi bagian yang berada di antara kedua paha Rini ini.

"Peluklah aku Mas, tolonglah Mas..!" erang Rini seolah sudah siap untuk melakukannya.
Tetapi aku tidak melakukannya. Aku ingin memberikan kenikmatan yang betul-betul kenikmatan kepadanya malam ini. Kutatapi seluruh bagian tubuh Rini yang memang betul-betul sempurna. Biasanya aku hanya dapat melihatnya dari kejauhan, itu pun dengan terhalang pakaian. Berbeda kini bukan hanya melihat, tapi dapat menikmati. Sungguh, ini suatu yang tidak pernah terduga olehku. Seperti ingin melahapnya saja.

Kemudian kujilati seluruhnya tanpa sisa, sementara tangan kiriku meraba kemaluannya yang ditumbuhi bulu hitam halus yang tidak begitu tebal. Bagian ini terasa sangat lembut sekali, mulut kemaluannya sudah mulai basah. Perlahan kumasukkan jari telunjukku ke dalam.
"Sshh.., akh..!" Rini menggelinjang nikmat.
Kuteruskan melakukannya, kini lebih dalam dan menggunakan dua jari, Rini mendesis.

Kini mulutku menuju dua bukit menonjol di dada Rini, kuhisap bagian putingnya, tubuh Rini bergetar panas. Tiba-tiba tangannya meraih kemaluanku, menggenggam dengan kedua telapaknya seolah takut lepas. Posisi Rini sekarang berbaring miring, sementara aku berlutut, sehingga kemaluanku tepat ke mulutnya. Perlahan dia mulai menjilati kemaluanku. Gantian badanku sekarang yang bergetar hebat.

Rini memasukkan kemaluanku ke dalam mulutnya. Ya ampun, hampir aku tidak sanggup menikmatinya. Luar biasa enaknya, sungguh..! Belum pernah kurasakan seperti ini. Sementara di atas Sofa Agus dan isteriku seperti membentuk angka 69. Resty ada di bawah sambil mengulum kemaluan Agus, sementara Agus menjilati kemaluan Resty. Napas kami berempat saling berkejaran, seolah-olah melakukan perjalanan panjang yang melelahkan. Bunyi Music yang entah sudah beberapa lagu seolah menambah semangat kami.

Kini tiga jari kumasukkan ke dalam kemaluan Rini, dia melenguh hebat hingga kemaluanku terlepas dari mulutnya. Gantian aku sekarang yang menciumi kemaluannya. Kepalaku seperti terjepit di antara kedua belah pahanya yang mulus. Kujulurkan lidahku sepanjang-panjangnya dan kumasukkan ke dalam kemaluannya sambil kupermainkan di dalamnya. Aroma dan rasanya semakin memuncakkan nafsuku. Sekarang Rini terengah-engah dan kemudian menjerit tertahan meminta supaya aku segera memasukkan kemaluanku ke lubangnya.

Cepat-cepat kurengkuh kedua pahanya dan menariknya ke bibir meja, kutekuk lututnya dan kubuka pahanya lebar-lebar supaya aku dapat memasukkan kemaluanku sambil berjongkok. Perlahan-lahan kuarahkan senjataku menuju lubang milik Rini.
Ketika kepala kemaluanku memasuki lubang itu, Rini mendesis, "Ssshh.., aahhk.., aduh enaknya..! Terus Mas, masukkan lagi akhh..!"
Dengan pasti kumasukkan lebih dalam sambil sesekali menarik sedikit dan mendorongnya lagi. Ada kenikmatan luar biasa yang kurasakan ketika aku melakukannya. Mungkin karena selama ini aku hanya melakukannya dengan isteriku, kali ini ada sesuatu yang tidak pernah kurasakan sebelumnya.

Tanganku sekarang sudah meremas payudara Rini dengan lembut sambil mengusapnya. Mulut Rini pun seperti megap-megap kenikmatan, segera kulumat bibir itu hingga Rini nyaris tidak dapat bernapas, kutindih dan kudekap sekuat-kuatnya hingga Rini berontak. Pelukanku semakin kuperketat, seolah-olah tidak akan lepas lagi. Keringat sudah membasahi seluruh tubuh kami. Agus dan isteriku tidak kuperhatikan lagi. Yang kurasakan sekarang adalah sebuah petualangan yang belum pernah kulalui sebelumnya. Pantatku masih naik turun di antara kedua paha Rini.

Luar biasa kemaluan Rini ini, seperti ada penyedot saja di dalamnya. Kemaluanku seolah tertarik ke dalam. Dinding-dindingnya seperti lingkaran magnet saja. Mata Rini merem melek menikmati permainan ini. Erangannya tidak pernah putus, sementara helaan napasnya memburu terengah-engah.Posisi sekarang berubah, Rini sekarang membungkuk menghadap meja sambil memegang kedua sisi meja yang tadi tempat dia berbaring, sementara saya dari belakangnya dengan berdiri memasukkan kemaluanku. Hal ini cukup sulit, karena selain ukuran kemaluanku lumayan besar, lubang kemaluan Rini juga semakin ketat karena membungkuk.

Kukangkangkan kaki Rini dengan cara melebarkan jarak antara kedua kakinya. Perlahan kucoba memasukkan senjataku. Kali ini berhasil, tapi Rini melenguh nyaring, perlahan-lahan kudorong kemaluanku sambil sesekali menariknya. Lubangnya terasa sempit sekali. Beberapa saat, tiba-tiba ada cairan milik Rini membasahi lubang dan kemaluanku hingga terasa nikmat sekarang. Kembali kudorong senjataku dan kutarik sedikit. Goyanganku semakin lincah, pantatku maju mundur beraturan. Sepertinya Rini pun menikmati gaya ini.

Buah dada Rini bergoyang-goyang juga maju-mundur mengikuti irama yang berasal dari pantatku. Kuremas buah dada itu, kulihat Rini sudah tidak kuasa menahan sesuatu yang tidak kumengerti apa itu. Erangannya semakin panjang. Kecepatan pun kutambah, goyangan pinggul Rini semakin kuat. Tubuhku terasa semakin panas. Ada sesuatu yang terdorong dari dalam yang tidak kuasa aku menahannya. Sepertinya menjalar menuju kemaluanku. Aku masih berusaha menahannya.

Segera aku mencabut kemaluanku dan membopong tubuh Rini ke tempat yang lebih luas dan menyuruh Rini telentang di bentangan karpet. Secepatnya aku menindihnya sambil menekuk kedua kakinya sampai kedua ujung lututnya menempel ke perut, sehingga kini tampak kemaluan Rini menyembul mendongak ke atas menantangku. Segera kumasukkan senjataku kembali ke dalam lubang kemaluan Rini.

Pantatku kembali naik turun berirama, tapi kali ini lebih kencang seperti akan mencapai finis saja. Suara yang terdengar dari mulut Rini semakin tidak karuan, seolah menikmati setiap sesuatu yang kulakukan padanya. Tiba-tiba Rini memelukku sekuat-kuatnya. Goyanganku pun semakin menjadi. Aku pun berteriak sejadinya, terasa ada sesuatu keluar dari kemaluanku. Rini menggigit leherku sekuat-kuatnya, segera kurebut bibirnya dan menggigitnya sekuatnya, Rini menjerit kesakitan sambil bergetar hebat.

Mulutku terasa asin, ternyata bibir Rini berdarah, tapi seolah kami tidak memperdulikannya, kami seolah terikat kuat dan berguling-guling di lantai. Di atas sofa Agus dan isteriku ternyata juga sudah mencapai puncaknya. Kulihat Resty tersenyum puas. Sementara Rini tidak mau melepaskan kemaluanku dari dalam kemaluannya, kedua ujung tumit kakinya masih menekan kedua pantatku. Tidak kusadari seluruh cairan yang keluar dari kemaluanku masuk ke liang milik Rini. Kulihat Rini tidak memperdulikannya.

Perlahan-lahan otot-ototku mengendur, dan akhirnya kemaluanku terlepas dari kemaluan Rini. Rini tersenyum puas, walau kelelahan aku pun merasakan kenikmatan tiada tara. Resty juga tersenyum, hanya nampak malu-malu. Kemudian memunguti pakaiannya dan menuju kamar mandi.

Hingga saat ini peristiwa itu masih jelas dalam ingatanku. Agus dan Rini sekarang sudah pindah dan kembali ke Jakarta. Sesekali kami masih berhubungan lewat telepon. Mungkin aku tidak akan pernah melupakan peristiwa itu. Pernah suatu waktu Rini berkunjung ke rumah kami, kebetulan aku tidak ada di rumah. Dia hanya ketemu dengan isteriku. Seandainya saja..
read more “Barter Ngentot Dengan Tetanggaku”

Tukang Urut dan Iparku



Ini malam sangat terasa dingin sekali, karena tadi pagi sampai sore hari hujan tak ada berhenti... kebetulan aku sendiri... Bang Irwan dan Kak Lydia sedang berkunjung ke Semarang bersama dengan Sari dan Wendy, acara pernikahan keluarga. Sedang Marta adik Kak Lydia sedang tidur di rumah temannya, kebetulan hari itu Sabtu malam Minggu, jam menunjukkan pukul 6.00 pas hujan sudah berhenti, aku ke depan cari pak Somad Hansip depan kompleks yang biasa main kerumah. " Pak, tolong panggilin Bik Minah tukang pijit donk... badan pada pegel nih... " kataku minta tolong.
Jam 6.35 pintu depan diketok orang dan bergegas aku keluar... ternyata yang dateng Pak Somad dengan Wanita muda lumayan cakep bersih orangnya... bengong aku jadinya. " Mas Yudi... ini anaknya Bik Minah... terpaksa saya bawa karena ibunya sedang pulang kampung... tapi dia bisa mijit kok... walaupun ngga' sepinter ibunya. " kata pak Somad cepat sebelum aku tanya dan ngomel karena tidak sesuai dengan perintahku. " Ya udah ayo langsung masuk aja " kataku mempersilahkan. " Saya balik dulu ya mas " pamit pak Somad.

Seperginya pak Somad langsung tanpa banyak bicara aku berjalan ke kamarku dan anak Bik Minah langsung mengikutiku dari belakang. " Oh ya, siapa ya nama kamu ? " tanyaku memecah keheningan. " Sisil Mas " sahutnya pendek.

Sampai di kamar aku langsung buka kaos... dengan bertelanjang dada seperti biasa kalo dipijit sama Bik Minah... namun biasanya aku buka sarung tinggal CD saja... kali ini aku biarkan sarung tetep nempel pada posisinya karena tengsin aku sama cewec muda ini. " minyak urutnya ada di atas meja rias ya " kataku sambil langsung tiduran tengkurap.
Tangannya mulai memegang telapak kakiku... terus kebetis... memijat sambil mengurut... sama persis dengan apa yang dilakukan ibunya padaku. Bik Minah emang sudah langganan sama keluarga Bang Irwan... jadi aku juga sudah sering mijit sama dia. Tapi walaupun cara mijitnya sama, namun serasa berbeda... tangan ini lebih halus dan hangat rasanya. " Permisi Mas " katanya membuyarkan lamunanku yang baru mulai berkembang... sambil benyingkap sarungku lebih tinggi, hingga ke pangkal pahaku. Pijitannya sudah sampai pada paha... sesekali agak tinggi menyentuh pangkal pantatku... agak ke tengah... seerrrrr... rasanya ada ngreng... akupun terus saja memejamkan mata sambil menikmati pijatan dan membayangkan kalau terjadi hal-hal yang diinginkan. " Aduh... " aku setengah menahan sakit ( pada hal pura-pura ), soalnya biasanya Bik Minah kalo aku kesakitan malah dicari yang sakit dan dipijat lebih lama sehingga enakan... eh... betul juga dia melakukan hal yang sama... tapi karena test tadi aku ucapkan pada saat dia memijit belakang lututku... maka dia sekarang memijit lebih lama di sana. Wah bisa kalo gitu pikirku... lalu aku merancang yang lebih dari pilot project ini. " Jangan dipijit gitu... sakit diurut saja pake minyak urut ya " kataku sambil tak lupa berpura-pura sakit.

Dia ambil minyak dan mulai mengurut serius di situ. Lama cukup dia mengurut di situ terus sekarang sudah mulai menjalar lagi... paha... betis... sampe telapak kaki... pas kembali ke paha dan kali ini agak terlalu dalem... aku langsung teriak tertahan... seakan kena bagian sakit lagi... " Mananya Mas ? " tanyanya. " Agak daleman dikit " kataku sambil memegang tangannya dan membimbing pada posisi yang aku mau... letaknya persis di pangkal paha tengah pas jadi kalo dipijit-pijit yang kena bijiku... sengaja aku mengarahkan ke depanan... biar makin pas... lama dia di situ... " Kasih minyak donk... " pintaku... pada saat dia ambil minyak... satu tanganku dengan cepat menyingkap CDku supaya meramku keluar dari CD dan bebas... benar juga pada saat tangannya mengoleskan minyak sudah langsung ke bijiku... aku agak sedikit supaya bijiku mangkin leluasa dan makin mudah dipijit... " Ati-ati jangan kena celananya... nanti kena minyak semua... " kataku pura-pura bingung kalo CDku kena minyak padahal mauku supaya dia membuka lebih lebar CDku... dengan tangannya... beberapa jenak kemudian dia bilang " Maaf Mas... CDnya dibuka aja... soalnya nanti kena minyak... saya sudah coba menghindari tapi susah... Masnya pake sarung aja... " kata dia mengagetkanku... kaget karena ngga' nyangka dia bilang gitu. Akupun berdiri dan melepas CDku... kembali pada posisi semula aku tengkurap... lalu Diah menyingkap kembali sarungku... hingga ke pantat... aku menahan pada posisi agak nunging supaya makin luas bidang yang bisa dicapai tangan Diah.

Benar juga lama dia mengurut... meemas bjiku... sampe aku sendiri sudah ngga' karuan rasanya konak banget... " Agak bawahan dikit... " pintaku... dia rogoh makin dalem sampe pangkal batangku kena pegang... diurutnya dengan agak susah karena dari pangkal batang sampe setengah diurut semua... " Mas kalo bisa balik badan... soalnya susah kalo gini " pintanya... dengan senang hati aku turuti. Aku berbalik badan dan meriamku masih tertutup kain sarung... dengan merogoh dia pegang lagi posisi yang sama. Diurut-urut... sepertinya aku merasa gayanya seperti setengah ngocok... tapi pikiran dia kayaknya lagi mijit... dengan matanya melihat sekeliling kamar... ngelamun kali... aku goyangkan pinggul sedikit supaya tanganya terpeleset ke atas... ternyata berhasil... dia lebih banyak ngurut meriamku... tiga empat menit berlalu dia kaya'nya ngga' sadar... tapi lama-lama aku merasa dia bukan mijit atau ngurut... melainkan benar-benar ngocok meriamku... walau tidak digenggam... tapi cukup mantap... Aku sengaja bergerak sambil sedikit menarik ke atas posisi sarungku... sehingga dapat terlihat sekarang tangannya yang sedang ngocok meriamku... merasa tangannya tidak lagi tertutup sarung... dia lihat posisi tangannya dan saat itu seakan baru sadar dia melihat apa yang selama beberapa menit ini dipijitnya... tapi dia tidak berhenti... matanya mulai ngelirik ke aku.

Denan tanpa expresi... dia teruskan mengocok... kali ini tangannya lebih mengenggam... jadi aku pastikan dia memang sengaja... jadi dengan sedikit ragu... aku letakkan pada pundaknya... saat memijit tadi... posisi dia berlutut di samping ranjang jadi kalo aku taruh tangan ke samping langsung jatuh di pundaknya dan langsung aku geser turun ke dadanya dan dia diam saja... aku remas dadanya... jadi aksi remas dan kocok berjalan terus beberapa menit... sampai tiba-tiba kepalanya ditundukkan rupanya tanpa basa basi lagi dia cium Kontolku... terus dilanjutkan dengan mengulumnya. Dia sadar bahwa dia dan aku telah sama-sama dikuasai nafsu.... maka tanpa perlu meminta ijin lebih jauh... aku coba untuk membuka baju atasnya... malah dia mambantunya... sehingga dia telah terbuka dadanya... BHnyapun telah dia lepas dan dadanya yang besar disorongkan kearah mulutku... langsung aja aku hisap putingnya.... wow... hangat.... kelapanya lalu direbahkan pada pundakku... sehingga kami seperti setengah bergumul karena kakinya masih di bawah... kamipun berciuman hangat... lalu aku bangkt dan mengangkat tubuhnya menaiki ranjang.... " Kamu mijitnya lebih enak dari ibu kamu ya " kataku ngaco... setelah tau dia seperti itu. " Ngga' tau Mas... terlanjur kebawa.... " dia tak melanjutkan kata-katanya. Aku asyik menciumi sekitar belakang telinga... samping leher... kadang mendenguskan nafas hangat ke telinganya. Dia sudah tampak merancu dengan desah dan erangannya yang makin membuatku di awang... Aku bangit dan memiringkan tubuhnya... kaki kirinya aku letakkan pada pundak kananku... denganposisi yang agak miring itu aku gesek Kontolku pada gerbang memeknya... beberapa saat aku gesek dia mulai mengerang pelan... kemudian aku tata kepala meriamku pada gerbang memeknya... yang jelas sekali sudah sangat lembab dan sedikit basar... aku coba tekan... wah... kok sempit... tapi beberapa kali coba... akirnya berhasil juga mencapai setengah badan meriam amblas dalam lorong kegelapan... tampaknya di dalam agak kering... maklum tumitnya kurus kecil... tandanya kalu barangnya cenderung kering... Erangannya walau perlahan masih terus tanpa henti sedari tadi... menambah hangat suasana dan seakan irama lautan teduh... terus aja aku goyang sampe cukup lama sebelum aku akhirnya minta pindah posisi...
Sekarang kedua kakinya aku pangul di kedua sisi pundakku... ayunan makin ganas karena posisi yang lebih leluasa... dan lorong kegelapan makin licin... rupanya dia telah beberapa kali mengeluarkan pelumas... walau bukan orgasme... " Kamu sekarang nungging... " perintahku. Saat Sisil nungging... aku tekan pundaknya ke kasur dan sisa pantatnya aja yang nungging... dengan sedikit rubah gerak... aku masukkan lagi meriam jagurku... kali ini lebih sensasional... aku pegangan pada pinggulnya yang cukup gede... dan ayunan makin bebas terkendali... beberapa kali hampir terlepas... tapi karena besarnya si Kontolku maka agak sulit juga terlepas secara keseluruhannya... lelah dengan gaya doggy... aku rebahan dan aku suruh dia menaikiku... dia naik dengan membelakangi aku... pada saat amblasnya batangku kali ini diiringi dengan nafas tertahannya... kali ini mentok abis... Sisil diam sesaat sambil merenungi nikmat yang terasa. Aku mulai ambil inisiatif untuk menggoyang... lalu Sisilpun ikut bergoyang.... kali ini putarannya melingkar... enak sekali... yang aku rasakan... lobang yang sempit... hangat... dan cenderung kering... tiap kali dia berputar pinggul aku merasa ada sesuatu nabrak kepala meriamku... pasti mentok dan dia pasti ngga' akan lama untu mencapai titik orgasme demikian pikirku. Benar saja dugaanku... Sisil tampak kejang keras sambil mengucapkan kata-kata yang tidak jelas apa maksudnya... cukup lama juga seperti itu... " Aaaa...duuuuuuu.......uuuuhhh Mas... lemes kakiku rasanya... aku ngga' kuat lagi gerak... " demikian katanya. Aku coba untuk bangun dan menunggingkannya... lalu aku hajar lobangnya dengan lebih keras... sampai panas rasanya meriamku... dan akhirnya aku sudah hampir nga' bisa lagi menahan.... lalu aku cabut dan bilang pada Sisil " Sisil... kamu menghadap ke sini... buka mulut kamu.... " dan rupanya Sisil mengerti yang aku mau... dengan lemas dia berbalik badan dan membuka mulutnya. Karena ketakutan akan tidak keburu... maka aku segera saja memasukkan meriamku dalam mulutnya yang mungil itu dan aku goyang maju mundur... beberapa kali dan keluarlah... creeetttt.... creeeee.tttt.... creettt....

Aku jatuh kecapaian... di sampingnya... " Sisil... gimana barusan ? " tanyaku memecah keheningan. " Enak sekali Mas... sampe lemes kaki saya... udah ngga' tau berapa kali keluar... kayaknya berendeng keluarnya " jawab Sisil sambil males-malesan dalam pelukanku. Dan kamipun tiduran sejenak dalam penat nikmat yang tersisa. Sampai pada...
Aku terjaga saat merasakan paha kananku ada sesuatu yang merayap... aku coba walau males... 'tuk membuka mataku dan... benar-benar terbelalak jadinya... saat tau apa yang menyentuh pahaku. Dia Marta... adik ipar kakakku...Irwan... aku sangka dia ada di rumah temennya... dan yang lebih mengagetkan adalah... dia lihat aku mendekap Wanita dan dalam keadaan bugil berdua.

" Yud... loe gila ya... beraninya ngga' ada orang masukin cewec... gue bilangin Bang Irwan... " katanya dengan mata melotot. " Hei... Mar... denger dulu... " kataku sambil mencoba bangkit dari tidurku... saat itu pula Sisil bangun karena dengar suara orang lain di kamar itu... dia berusaha meraih kain seadanya untuk emutupi tubuh bugilnya sambil bertanya " Dia siapa Mas ? "

" Dia ini Marta... adik ipar kakakku " jawabku pendek. " Jangan gitu donk... masa loe ngga' kompak ama gue " jawabku mohon pengertiannya. " Iya boleh aja gue ngga' bilang Abang asal gue boleh lihat loe berdua main sekali lagi... gimana ? tanyanya. Ach ni anak pikirku pasti gampang dech kalo udah gini... paling banter ntar dia pasti ngga' kuat nahan nafsunya sendiri.... demikian pikirku." Okey... Sisil... yuk kita tunjukkan pada Marta... apa yang kita baru kerjakan tadi... kita ulang lagi yuk " ajakku... " Mas malu saya nggak bisa... " aku bangun untuk menciumi Sisil... " Udah kamu merem aja dan anggap hanya kita berdua dalam kamar ini " kataku menenangkan. Dan akupun mulai merangsang Sisil dengan ciuman lembut... sambil tanganku berusaha meraba bagian-bagian sensitifnya... beberapa saat berlalu Sisil mulai terbawa... dan mendesar halus.... aku rasakan tangan Marta mencoba meraih batangku dan meremas-remasnya, sesekali mengocoknya hingga siap tempur.

Setelah segalanya siap... akupun mulai ambil ancang-ancang untuk memasuki Sisil untuk sesi kedua... pada saat batangku amblas... Sisil dan Martapun seakan menahan nafas... rupanya Marta telah terlarut dalam pemandangan depan matanya. Permainanku dengan Sisil berlangsung beberapa gaya... dan tanpa terasa waktu telah menunjukkan pukul 9.00, saat itu Marta telah telanjang di samping tubuh Sisil yang sedang aku tindih... lalu tangan kirikupun mulai bergerilya ke toket Marta... wah enak sekali... aku pilin putingnya dan diapun mengerang. Sambil terus menggenjot Sisil... aku cium juga bibir Marta dan pendek kata... pinggangku ke bawah menghabisi Sisil sedang pinggangku ke atas menyerang Marta.... keduanyapun mengerang seru malam itu... makin keras erangan mereka berdua bersahutan makin nafsu aku dibuatnya... terakhir sudah tidak kuat lagi menahan gejolak... aku genjot makin keras si Sisil dan diapun mengerang panjang sambil kejang mendekapku. Saat itu kami orgasme bersamaan... sedang Marta masih belum mencapai walau hampir... erangan kami berdua membakar nafsunya... segera saja Marta memerintahku untuk menghisap memeknya sampai keluar... demikian perintahnya. Akupun langsung memutar badanku untuk mencapai lobang Marta yang sudah sangat basah tadi.... tapi meriamku tetap tertanam dalam Sisil. Kumainkan lidahku pada gua vertikalnya dan sesekali pada tombol di atas lobang tersebut sampe Marta mengejang kejang dan.... lemas puas.
Lima sepuluh menit kami masih rebahan tumpang tindih sampe aku bangkit dan mencuci peralatanku... lalu kukenakan pakaianku dan kusulut sebatang rokok sambil ngeloyor kejalanan... mencari pak Somad. " Pak... anaknya Bik Minah ngga' usah ditunggu pulangnya... dan tolong bilangin orang rumahnya kalo dia nngga' pulang karena disuruh nemenin Marta " alasanku sengaja aku tidak sebut nama Sisil supaya terkesan masih asing buatku. Setelah itu aku balik lagi ke rumah dan cuci kaki lalu join bobok bertiga... ntar malem coba aku gerayangi Marta ach... kali-kali aja dapet nyobain rasanya... pasti asyik dan berarti pula dalam rumah ini ada beberapa stok lobang yang bisa dipake bergantian... khan asyik kalo butuh ngga' nunggu lama-lama.
read more “Tukang Urut dan Iparku ”

Kuberikan Kenikmatan Ibu Mertuaku



Bapak mertuaku Pak Santoso yang berusia sekitar 59 tahun baru saja pensiun dari pekerjaannya di salah satu perusahaan di Jakarta. Sebetulnya beliau sudah pensiun dari anggota ABRI ketika berumur 55 tahun, tetapi karena dianggap masih mampu maka beliau terus dikaryakan. Karena beliau masih ingin terus berkarya, maka beliau memutuskan untuk kembali ke kampungnya didaerah Cilacap, Jawa Tengah selain untuk menghabiskan hari tuanya, juga beliau ingin mengurusi kebun Bawang Merahnya yang cukup luas.

Ibu mertuaku Bu Wati, walaupun sudah berumur sekitar 45 tahun, tetapi penampilannya jauh lebih muda dari umurnya. Badannya saja tidak gemuk gombyor seperti biasanya ibu-ibu yang sudah berumur, walau tidak cantik tetapi berwajah ayu dan menyenangkan untuk dipandang. Penampilan ibu mertuaku seperti itu mungkin karena selama di Jakarta kehidupannya selalu berkecukupan dan telaten mengikuti senam secara berkala dengan kelompoknya.

Beberapa bulan yang lalu, aku mengambil cuti panjang dan mengunjunginya bersama Istriku (anak tunggal mertuaku) dan anakku yang baru berusia 2 tahun. Kedatangan kami disambut dengan gembira oleh kedua orang mertuaku, apalagi sudah setahun lebih tidak bertemu sejak mertuaku kembali ke kampungnya. Pertama-tama, aku di peluk oleh Pak Santoso mertuaku dan istriku dipeluk serta diciumi oleh ibunya dan setelah itu istriku segera mendatangi ayahnya serta memeluknya dan Bu Wati mendekapku dengan erat sehingga terasa payudaranya mengganjal empuk di dadaku dan tidak terasa penisku menjadi tegang karenanya.

Dalam pelukannya, Bu Wati sempat membisikkan Jay….., Ibu kangen sekali denganmu”, sambil menggosok-gosokkan tangannya di punggungku, dan untuk tidak mengecewakannya kubisiki juga, “Buuu…, Saya juga kangen sekali dengan Ibu”, dan aku menjadi sangat kaget ketika ibu mertuaku sambil tetap masih mendekapku membisikiku dengan kata-kata, “Jayyy…, Ibu merasakan ada yang mengganjal di perut Ibu”, dan karena kaget dengan kata-kata itu, aku menjadi tertegun dan terus saling melepaskan pelukan dan kuperhatikan ibu mertuaku tersenyum penuh  arti.

Setelah dua hari berada di rumah mertua, aku dan istriku merasakan ada keanehan dalam rumah tangga mertuaku, terutama pada diri ibu mertuaku. Ibu mertuaku selalu saja marah-marah kepada suaminya apabila ada hal-hal yang kurang berkenan, sedangkan ayah mertuaku menjadi lebih pendiam serta tidak meladeni ibu mertuaku ketika beliau sedang marah-marah dan ayah mertuaku kelihatannya lebih senang menghabiskan waktunya di kebun Bawang merahnya, walaupun di situ hanya duduk-duduk seperti sedang merenung atau melamun. Istriku sebagai anaknya tidak bisa berbuat apa-apa dengan tingkah laku orang tuanya terutama dengan ibunya, yang sudah sangat jauh berlainan dibanding sewaktu mereka masih berada di Jakarta, kami berdua hanya bisa menduga-duga saja dan kemungkinannya beliau itu terkena post power syndrome. Karena istriku takut untuk menanyakannya kepada kedua orang tuanya, lalu Istriku memintaku untuk mengorek keterangan dari ibunya dan supaya ibunya mau bercerita tentang masalah yang sedang dihadapinya, maka istriku memintaku untuk menanyakannya sewaktu dia tidak sedang di rumah dan sewaktu ayahnya sedang ke kebun Bawang merahnya.

Di pagi hari ke 3 setelah selesai sarapan pagi, istriku sambil membawa anakku, pamitan kepada kedua orang tuanya untuk pergi mengunjungi Budenya di kota Ciamis, yang tidak terlalu jauh dari Cilacap dan kalau bisa akan pulang sore nanti.
“Lho…, Ros (nama istriku), kok Mas mu nggak diajak..?”, tanya ibunya.
“Laah.., nggak usahlah Buuu…, biar Mas Jaya nemenin Bapak dan Ibu, wong nggak lama saja kok”, sahut istriku sambil mengedipkan matanya ke arahku dan aku tahu apa maksud kedipan matanya itu, sedangkan ayahnya hanya berpesan pendek supaya hati-hati di jalan karena hanya pergi dengan cucunya saja.

Tidak lama setelah istriku pergi, Pak Santosopun pamitan dengan istrinya dan aku, untuk pergi ke kebun Bawangnya yang tidak terlalu jauh dari rumahnya sambil menambahkan kata-katanya, “Nak Jayy…, kalau nanti mau lihat-lihat kebun, susul bapak saja ke sana”. Sekarang yang di rumah hanya tinggal aku dan ibu mertuaku yang sedang sibuk membersihkan meja makan. Untuk mengisi waktu sambil menunggu waktu yang tepat untuk menjalankan tugas yang diminta oleh istriku, kugunakan untuk membaca koran lokal di ruang tamu.

Entah sudah berapa lama aku membaca koran, yang pasti seluruh halaman sudah kubaca semua dan tiba-tiba aku dikagetkan dengan suara sesuatu yang jatuh dan diikuti dengan suara mengaduh dari belakang, dengan gerakan reflek aku segera berlari menuju belakang sambil berteriak, “Buuu…, ada apa buuu?”. Dan dari dalam kamar tidurnya kudengar suara ibu mertuaku seperti merintih, “Nak Jay…, tolooong Ibuuu”, dan ketika kujenguk ternyata ibu mertuaku terduduk di lantai dan sepertinya habis terjatuh dari bangku kecil di dekat lemari pakaian sambil meringis dan mengaduh serta mengurut pangkal pahanya. Serta merta kuangkat ibu mertuaku ke atas tempat tidurnya yang cukup lebar dan kutidurkan sambil kutanya, “Bagian mana yang sakit Buuu”, dan ibu mertuaku menjawab dengan wajah meringis seperti menahan rasa sakit, “Di sini.., sambil mengurut pangkal paha kanannya dari luar rok yang dipakainya”.

Tanpa permisi lalu kubantu mengurut paha ibu mertuaku sambil kembali kutanya, “Buuu…, apa ada bagian lain yang sakit..?
“Nggak ada kok Jay…, cuman di sepanjang paha kanan ini ada rasa sakit sedikit..”, jawabnya.
“Ooh…, iya nak Jay…, tolong ambilkan minyak kayu putih di kamar ibu, biar paha ibu terasa panas dan hilang sakitnya”.
Aku segera mencari minyak yang dimaksud di meja rias dan alangkah kagetku ketika aku kembali dari mengambil minyak kayu putih, kulihat ibu mertuaku telah menyingkap roknya ke atas sehingga kedua pahanya terlihat jelas, putih dan mulus. Aku tertegun sejenak di dekat tempat tidur karena melihat pemandangan ini dan mungkin karena melihat keragu-raguanku ini dan tertegun dengan mataku tertuju ke arah paha beliau, ibu mertuaku langsung saja berkata, “Ayooo..lah nak Jay…, nggak usah ragu-ragu, kaki ibu terasa sakit sekali ini lho, lagi pula dengan ibu mertua sendiri saja kok pake sungkan sungkan…, tolong di urutkan paha ibu tapi nggak usah pakai minyak kayu putih itu…, ibu takut nanti malah paha ibu jadi kepanasan.

Dengan perasaan penuh keraguan, kuurut pelan-pelan paha kanannya yang terlihat ada tanda agak merah memanjang yang mungkin sewaktu terjatuh tadi terkena bangku yang dinaikinya seraya kutanya, “Bagaimana Buuu…, apa bagian ini yang sakit..?
“Betul Nak Jay…, yaa yang ituuu…, tolong urutkan yang agak keras sedikit dari atas ke bawah”, dan dengan patuh segera saja kuikuti permintaan ibu mertuaku. Setelah beberapa saat kuurut pahanya yang katanya sakit itu dari bawah ke atas, sambil memejamkan matanya, ibu mertuaku berkata kembali, “Nak Jay…, tolong agak ke atas sedikit ngurutnya”, sambil menarik roknya lebih ke atas sehingga sebagian celana dalamnya yang berwarna merah muda dan tipis itu terlihat jelas dan membuatku menjadi tertegun dan gemetar entah kenapa, apalagi vagina ibu mertuaku itu terlihat mengembung dari luar CD-nya dan ada beberapa helai bulu vaginanya yang keluar dari samping CD-nya.

“Ayoo…,doong…, Nak Jay, kok ngurutnya jadi berhenti”, kata ibu mertuaku sehingga membuatku tersadar.
“Iii…, yaa…, Buuu maaf, tapi…, Buuu”, jawabku agak terbata-bata dan tanpa menyelesaikan perkataanku karena agak ragu.
“aah… kenapa sih Nak Jay..?, kata ibu mertuaku kembali sambil tangan kanannya memegang tangan kiriku serta menggoncangnya pelan.
“Buuu…, Saa…, yaa…, saayaa”, sahutku tanpa sadar dan tidak tahu apa yang harus kukatakan, tetapi yang pasti penisku menjadi semakin tegang karena melihat bagian CD ibu mertuaku yang menggelembung di bagian tengahnya.

“Nak Jay..”, katanya lirih sambil menarik tangan kiriku dan kuikuti saja tarikan tangannya tanpa prasangka yang bukan-bukan, dan setelah tanganku diciumnya serta digeser geserkan di bibirnya, lalu secara tidak kuduga tanganku diletakkan tepat di atas vaginanya yang masih tertutup CD dan tetap dipegangnya sambil dipijat-pijatkannya secara perlahan ke vaginanya diikuti dengan desis suara ibu mertuaku, “ssshh…, ssshh”. Kejadian yang tidak kuduga sama sekali ini begitu mengagetkanku dan secara tidak sadar aku berguman agak keras.
“Buuu…, Saa…yaa”, dan belum sempat aku menyelesaikan kata-kataku, dari mulut ibu mertuaku terdengar, “Nak Jayyy…, koook seperti anak kecil saja.., siiih?”.
“Buu…, Saa…, yaa…, takuuut kalau nanti bapak datang”, sahutku gemetar karena memang saat itu aku takut benar, sambil mencoba menarik tanganku tetapi tangan ibu mertuaku yang masih tetap memegang tanganku, menahannya dan bahkan semakin menekan tanganku ke vaginanya serta berkata pelan, “Nak Jay…, Bapak pulang untuk makan siang selalu jam 1 siang nanti…, tolong Ibuuu…, naak”,terdengar seperti mengiba.

Sebetulnya siapa sih yang tidak mau kalau sudah seperti ini, aku juga tidak munafik dan tidak bisa menahan diri kalau dalam situasi seperti ini, tetapi karena ini baru pertama kualami dan apalagi dengan ibu mertuaku sendiri, tentunya perasaan takutpun pasti akan ada.
“Ayooo…lah Nak Jay…, tolongin Ibuuu…, Naak”, kudengar ibu mertuaku mengiba kembali sehingga membuatku tersadar dan tahu-tahu ibu mertuaku telah memelukku.
“Buuu…, biar saya kunci pintunya dulu, yaa..?”, pintaku karena aku was-was kalau nanti ada orang masuk, tetapi ibu mertuaku malah menjawab, “Nggak usah naak…, selama ini nggak pernah ada orang pagi-pagi ke rumah Ibu”, serta terus mencium bibirku dengan bernafsu sampai aku sedikit kewalahan untuk bernafas. Semakin lama ibu mertuaku semakin tambah agresif saja, sambil tetap menciumiku, tangannya berusaha melepaskan kaos oblong yang kukenakan dan setelah berhasil melepaskan kaosku dengan mudah disertai dengan bunyi nafasnya yang terdengar berat dan cepat, ibu mertuaku terus mencium wajah serta bibirku dan perlahan-lahan ciumannya bergerak ke arah leher serta kemudian ke arah dadaku.

Ciuman demi ciuman ibu mertuaku ini tentu saja membuatku menjadi semakin bernafsu dan ketakutanku yang tadipun sudah tidak teringat lagi.
“Buuu…, boleh saya bukaa…, rok Ibu..? tanyaku minta izin.
“Jay…, bol…, eh…, boleh…, Nak, Nak Jay…, boleh lakukan apa saja..”, katanya dengan suara terputus-putus dan terus kembali menciumi dadaku dengan nafasnya yang cepat dan sekarang malah berusaha melepas kancing celana pendek yang ada di badanku. Setelah rok ibu mertuaku terlepas, lalu kulepaskan juga kaitan BH-nya dan tersembulah payudaranya yang tidak begitu besar dan sudah agak menggelantung ke bawah dengan puting susunya yang besar kecoklatan. Sambil kuusapkan kedua tanganku ke bagian bawah payudaranya lalu kutanyakan, “Buuu…, boleh saya pegang dan ciumi tetek…, Ibuu..?
“Bool…, eh…, boleh…, sayang.., lakukan apa saja yang Nak Jay mau.., Ibu sudah lama sekali tidak mendapatkan ini lagi dari bapakmu…, ayoo.., sayaang”, sahut ibu mertuaku dengan suara terbata-bata sambil mengangkat dadanya dan perlahan-lahan kupegang kedua payudara ibu mertuaku dan salah satu puting susunya langsung kujilati dan kuhisap-hisap, serta pelan-pelan kudorong tubuh ibu mertuaku sehingga jatuh tertidur di kasur dan dari mulut ibu mertuaku terdengar, “ssshh…, aahh.., sayaang…, ooohh…, teruuus…, yaang…, tolong puasiiin Ibuu…, Naak”, dan suara ibu mertuaku yang terdengar menghiba itu menjadikanku semakin terangsang dan aku sudah lupa kalau yang kugeluti ini adalah ibu mertuaku sendiri dan ibu dari istriku.

“Naak Jayyy”, kudengar suara ibu mertuaku yang sedang meremas-remas rambut di kepalaku serta menciuminya, “Ibuu…, ingin melihat punyamu…, Naak”, seraya tangannya berusaha memegang penisku yang masih tertutup celana pendekku.
“Iyaa…, Buu…, saya buka celana dulu Buuu”, sahutku setelah kuhentikan hisapanku pada payudaranya serta segera saja aku bangkit dan duduk di dekat muka ibu mertuaku. Segera saja ibu mertuaku memegang penisku yang sedang berdiri tegang dari luar celana dan berkomentar, “Nak Jay…, besar betuuul…, dan keras lagi, ayooo…, dong cepaat.., dibuka celananya…, agar Ibu bisa melihatnya lebih jelas”, katanya seperti sudah tidak sabar lagi, dan tanpa disuruh ibu untuk kedua kalinya, langsung saja kulepas celana pendek yang kukenakan.

Ketika aku membuka CD-ku serta melihat penisku berdiri tegang ke atas, langsung saja ibu mertuaku berteriak kecil, “Aduuuh…, Jay…, besaar sekali”, padahal menurut anggapanku ukuran penisku sepertinya wajar saja menurut ukuran orang Indonesia tapi mungkin saja lebih besar dari punya suaminya dan ibu mertuaku langsung saja memegangnya serta mengocoknya pelan-pelan sehingga tanpa kusadari aku mengeluarkan desahan kecil, “ssshh…, aahh”, sambil kedua tanganku kuusap-usapkan di wajah dan rambutnya.

“Aduuuh…, Buuu…, sakiiit”, teriakku pelan ketika ibu mertuaku berusaha menarik penisku ke arah wajahnya, dan mendengar keluhanku itu segera saja ibu mertuaku melepas tarikannya dan memiringkan badannya serta mengangkat separuh badannya yang ditahan oleh tangan kanannya dan kemudian mendekati penisku. Setelah mulutnya dekat dengan penisku, langsung saja ibu mertuaku mengeluarkan lidahnya serta menjilati kepala penisku sedangkan tangan kirinya meremas-remas pelan kedua bolaku, sedangkan tangan kiriku kugunakan untuk meremas-remas rambutnya serta sekaligus untuk menahan kepala ibu mertuaku. Tangan kananku kuremas-remaskan pada payudaranya yang tergantung ke samping.

Setelah beberapa kali kepala penisku dijilatinya, pelan-pelan kutarik kepala ibu mertuaku agar bisa lebih dekat lagi ke arah penisku dan rupanya ibu mertuaku cepat mengerti apa yang kumaksud dan walaupun tanpa kata-kata langsung saja kepalanya didekatkan mengikuti tarikan kedua tanganku dan sambil memegangi batang penisku serta dengan hanya membuka mulutnya sedikit, ibu mertuaku secara pelan-pelan memasukkan penisku yang sudah basah oleh air liurnya sampai setengah batang penisku masuk ke dalam mulutnya. Kurasakan lidah ibu mertuaku dipermainkannya dan digesek-gesekannya pada kepala penisku, setelah itu kepala ibu ditariknya mundur pelan-pelan dan kembali dimajukan sehingga penisku terasa sangat nikmat. Karena tidak tahan menahan kenikmatan yang di berikan ibu mertuaku, aku jadi mendesis, “ssshh…, aacccrrr…, ooohh”, mengikuti irama maju mundurnya kepala ibu. Makin lama gerakan kepala ibu mertuaku maju mundur semakin cepat dan ini menambah nikmat bagiku.

Beberapa menit kemudian, ibu mertuaku secara tiba-tiba melepaskan penisku dari mulutnya, padahal aku masih ingin hal ini terus berlangsung dan sambil kembali menaruh kepalanya di tempat tidur, dia menarik bahuku untuk mengikutinya. Ibu langsung mencium wajahku dan ketika ciumannya mengarah ke telingaku, kudengar ibu berkata dengan agak berbisik, “Naak Jay…, Ibu juga kepingin punya ibu dijilati”, dan sambil kunaiki tubuh ibu mertuaku lalu kutanyakan, “Buuu…, apa boleh…, saya lakukan?”, dan segera saja ibu menjawabnya, “Nak Jay…, tolong pegang dan jilati kepunyaan ibu…, naak…, ibu sudah lama kepingin di gituin”.

Tanpa membuang waktu lebih lama lagi, aku menurunkan badanku secara perlahan-lahan dan ketika melewati dadanya kembali kuciumi serta kujilati payudara ibu mertuaku yang sudah tidak terlalu keras lagi, setelah beberapa saat kuciumi payudara ibu, aku segera menurunkan badanku lagi secara perlahan sedangkan ibu mertuaku meremas-remas rambutku, juga terasa seperti berusaha mendorong kepalaku agar cepat-cepat sampai ke bawah. Kuciumi dan kujilati perut dan pusar ibu sambil salah satu tanganku kugunakan untuk menurunkan CD-nya. Kemudian dengan cekatan ku lepas CD-nya dan kulemparkan ke atas lantai. Kulihat vagina ibu mertuaku begitu lebat ditumbuhi bulu-bulu yang hitam mengitari liang vaginanya. Mungkin karena terlalu lama aku menjilati perut dan sekitarnya, kembali kurasakan tangan ibu yang ada di kepalaku menekan ke bawah dan kali ini kuikuti dengan menurunkan badanku pelan-pelan ke bawah dan sesampainya di dekat vaginanya, kuciumi daerah di sekitarnya dan apa yang kulakukan ini mungkin menyebabkan ibu tidak sabaran lagi, sehingga kudengar suara ibu mertuaku, “Nak Jay…, tolooong…, cepaat…, saa.., yaang…, ayooo…, Jayyyy”.

Tanpa kujawab permintaannya, aku mulai melebarkan kakinya dan kuletakkan badanku di antara kedua pahanya, lalu kusibak bulu vaginanya yang lebat itu untuk melihat belahan vagina ibu dan setelah bibir vagina ibu terlihat jelas lalu kubuka bibir kemaluannya dengan kedua jari tanganku, ternyata vagina ibu mertuaku telah basah sekali. Ketika ujung lidahku kujilatkan ke dalam vaginanya, kurasakan tubuh ibu menggelinjang agak keras sambil berkata, “Cepaat…, Jay…, ibu sudah nggak tahaan”.

Dengan cepat kumasukkan mulut dan lidahku ke dalam vaginanya sambil kujilati dan kusedot-sedot dan ini menyebabkan ibu mulai menaik-turunkan pantatnya serta bersuara, “ssshh…, aahh…, Jayyyy…, teruuus…, adduuuhh…, enaak…, Jayyy”, Lalu kukecup clitorisnya berulang kali hingga mengeras, hal ini membuat ibu mertuaku menggelinjang hebat, “Aahh…, ooohh…, Jay…, betuuul…, yang itu…, Jayy…, enaak…, aduuuh…, Jayy…, teruskaan…, aahh”, sambil kedua tangannya menjambak rambutku serta menekan kepalaku lebih dalam masuk ke vaginanya. Kecupan demi kecupan di vagina ibu ini kuteruskan sehingga gerakan badan ibu mertuaku semakin menggila dan tiba-tiba kudengar suara ibu setengah mengerang, “aahh…, oooh…, duuuh…, Jayyyyyy…, ibuu…, mau.., mauuu…, sampaiii…, Naak…, oooh”, disertai dengan gerakan pantatnya naik turun secara cepat.

Gerakan badannya terhenti dan yang kudengar adalah nafasnya yang menjadi terengah-engah dengan begitu cepatnya dan tangannyapun sudah tidak meremas-remas rambutku lagi, sementara itu jilatan lidahku di vagina ibu hanya kulakukan sekedarnya di bagian bibirnya saja. Dengan nafasnya yang masih memburu itu, tiba-tiba ibu mertuaku bangun dan duduk serta berusaha menarik kepalaku seraya berkata, “Naak Jayy…, ke siniii…, saayaang”, dan tanpa menolak kuikuti saja tarikan tangan ibu, ketika kepalaku sudah di dekat kepalanya, ibu mertuaku langsung saja memelukku seraya berkata dengan suara terputus-putus karena nafasnya yang masih memburu, “Jayy…, Ibu puas dengan apa yang Nak Jayy…, lakukan tadi, terima kasiih…, Naak”. Ibu mertuaku bertubi-tubi mencium wajahku dan kubalas juga ciumannya dengan menciumi wajahnya sambil kukatakan untuk menyenangkan hatinya, “Buuu…, saya sayang Ibuuu…, saya ingin ibu menjadi…, puu..aas”.

Setelah nafas ibu sudah kembali normal dan tetap saja masih menciumi seluruh wajahku dan sesekali bibirku, dia berkata, “Naak Jayy…, Ibu masih belum puas sekali…, Jayyy…, tolooong puasin ibu sampai benar-benar puaas…, Naak”, seraya kurasakan ibu merenggangkan kedua kakinya. Karena aku masih belum memberikan reaksi atas ucapannya itu, karena tiba-tiba aku terpikir akan istriku dan yang kugeluti ini adalah ibu kandungnya, aku menjadi tersadar ketika ibu bersuara kembali, “Sayaang…, ayooo…, tolooong Ibu dipuasin lagi Jayy, tolong masukkan punyamu yang besar itu ke punya ibu”.
“Buuu…, seharusnya saya tidak boleh melakukan ini…, apalagi kepada Ibuu”,sahutku di dekat telinganya.
“Jay…, nggak apa-apa…, Naak…, Ibu yang kepingin, lakukanlah Naak…, lakukan sampai Ibu benar-benar puas Jay”, katanya dengan suara setengah mengiba.

“aahh…, biarlah, kenapa kutolak”, pikirku dan tanpa membuang waktu lagi aku lalu mengambil ancang-ancang dan kupegang penisku serta kuusap-usapkan di belahan bibir vagina ibu mertuaku yang sudah sedikit terbuka. Sambil kucium telinga ibu lalu kubisikkan, “Buuu…, maaf yaa…., saya mau masukkan sekarang, boleh?”.
“Jayyy…, cepat masukkan, Ibu sudah kepingin sekali Naak”, sahutnya seperti tidak sabar lagi dan tanpa menunggu ibu menyelesaikan kalimatnya aku tusukkan penisku ke dalam vaginanya, mungkin entah tusukan penisku terlalu cepat atau karena ibu katanya sudah lama tidak pernah digauli oleh suaminya langsung saja beliau berteriak kecil, “Aduuuh…, Jayyy…, pelan-pelan saayaang…, ibu agak sakit niiih”, katanya dengan wajah yang agak meringis mungkin menahan rasa kesakitan. Kuhentikan tusukan penisku di vaginanya, “Maaf Buu…, saya sudah menyakiti Ibu…, maaf ya Bu”. Ibu mertuaku kembali menciumku, “Tidak apa-apa Jayy…, Ibu cuma sakit sedikit saja kok, coba lagi Jay..”, sambil merangkulkan kedua tangannya di pungungku.

“Buuu…, saya mau masukkan lagi yaa dan tolong Ibu bilang yaa…, kalau ibu merasa sakit”, sahutku. Tanpa menunggu jawaban ibu segera saja kutusukkan kembali penisku tetapi sekarang kulakukan dengan lebih pelan. Ketika kepala penisku sudah menancap di lubang vaginanya, kulihat ibu sedikit meringis tetapi tidak mengeluarkan keluhan, “Buuu…, sakit.., yaa?”. Ibu hanya menggelengkan kepalanya serta menjawab, “Jayyy…, masukkan saja sayaang”, sambil kurasakan kedua tangan ibu menekan punggungku. Aku segera kembali menekan penisku di lubang vaginanya dan sedikit terasa kepala penisku sudah bisa membuka lubang vaginanya, tetapi kembali kulihat wajah ibu meringis menahan sakit. Karena ibu tidak mengeluh maka aku teruskan saja tusukan penisku dan, “Bleess”, penisku mulai membongkar masuk ke liang vaginanya diikuti dengan teriakan kecil, “Aduuuh…, Jayyy”, sambil menengkeramkan kedua tangannya di punggungku dan tentu saja gerakan penisku masuk ke dalam vaginanya segera kutahan agar tidak menambah sakit bagi ibu.
“Buuu…, sakit yaa..? maaf ya Buuu”. Ibu mertuaku hanya menggelengkan kepalanya.
“Enggak kok sayaang…, ibu hanya kaget sedikit saja”, lalu mencium wajahku sambil berucap kembali, “Jay…, besar betul punyamu itu”.

Pelan-pelan kunaik-turunkan pantatku sehingga penisku yang terjepit di dalam vaginanya keluar masuk dan ibupun mulai menggoyang-goyangkan pantatnya pelan-pelan sambil berdesah, “ssshh…, oooh…, aahh…, sayaang…, nikmat…, teruuuskan…, Naak”, katanya seraya mempercepat goyangan pantatnya. Akupun sudah mulai merasakan enaknya vaginan ibu dan kusahut desahannya, “Buuu…, aahh…, punyaa Ibu juga nikmat, buuu”, sambil kuciumi pipinya.

Makin lama gerakanku dan ibu semakin cepat dan ibupun semakin sering mendesah, “Aah…, Jayyy…, ooh…, teruus…, Jayyy”. Ketika sedang nikmat-enaknya menggerakkan penisku keluar masuk vaginanya, ibu menghentikan goyangan pantatnya. Aku tersentak kaget, “Buuu…, kenapa? apa ibu capeeek?”, Ibu hanya menggelengkan kepalanya saja, sambil mencium leherku ibu berucap, “Jayy…, coba hentikan gerakanmu itu sebentar”.
“Ada apa Buuu”, sahutku sambil menghentikan goyangan pantatku naik turun.
“Jay…, kamu diam saja dan coba rasakan ini”, kata ibu tanpa menjelaskan apa maksudnya dan tidak kuduga tiba-tiba terasa penisku seperti tersedot dan terhisap di dalam vagina ibu mertuaku, sehingga tanpa sadar aku mengatakan, “Buuu…, aduuuh…, enaak…, Buu…, teruus Bu, oooh…, nikmat Buu”, dan tanpa sadar, aku kembali menggerakkan penisku keluar masuk dengan cepat dan ibupun mulai kembali menggoyangkan pantatnya.
“oooh…, aah…, Jay…, enaak Jayyy”, dan nafasnya dan nafaskupun semakin cepat dan tidak terkontrol lagi.

Mengetahui nafas Ibu serta goyangan pantat Ibu sudah tidak terkontrol lagi, aku tidak ingin ibu cepat-cepat mencapai orgasmenya, lalu segera saja kuhentikan gerakan pantatku dan kucabut penisku dari dalam vaginanya yang menyebabkan ibu mertuaku protes, “Kenapa…, Jay…, kok berhenti?”, tapi protes ibu tidak kutanggapi dan aku segera melepaskan diri dari pelukannya lalu bangun.

Tanpa bertanya, lalu badan ibu mertuaku kumiringkan ke hadapanku dan kaki kirinya kuangkat serta kuletakkan di pundakku, sedangkan ibu mertuaku hanya mengikuti saja apa yang kulakukan itu. Dengan posisi seperti ini, segera saja kutusukkan kembali penisku masuk ke dalam vagina ibu mertuaku yang sudah sangat basah itu tanpa kesulitan. Ketika seluruh batang penisku sudak masuk semua ke dalam vaginanya, segera saja kutekan badanku kuat-kuat ke badan ibu sehingga ibu mulai berteriak kecil, “Jayyy…, aduuuh…, punyamu masuk dalam sekali…, naak…, aduuuh…, teruuus sayaang…, aah”, dan aku meneruskan gerakan keluar masuk penisku dengan kuat. Setiap kali penisku kutekan dengan kuat ke dalam vagina ibu mertuaku, ibu terus saja berdesah, “Ooohh…, aahh…, Jay…, enaak…, terus, tekan yang kuaat sayaang”.

Aku tidak berlama-lama dengan posisi seperti ini. Kembali kehentikan gerakanku dan kucabut penisku dari dalam vaginanya. Kulihat ibu hanya diam saja tanpa protes lagi dan lalu kukatakan pada ibu, “Buuu…, coba ibu tengkurap dan nungging”, kataku sambil kubantu membalikkan badan dan mengatur kaki ibu sewaktu nungging, “Aduuh…, Jay…, kamu kok macem-macem sih”, komentar Ibu mertuaku. Aku tidak menanggapi komentarnya dan tanpa kuberi aba-aba penisku kutusukkan langsung masuk ke dalam vagina ibu serta kutekan kuat-kuat dengan memegang pinggangnya sehingga ibu berteriak, “Aduuuh Jay, oooh”, dan tanpa kupedulikan teriakan ibu, langsung saja kukocok penisku keluar masuk vaginanya dengan cepat dan kuat hingga membuat badan ibu tergetar ketika sodokanku menyentuh tubuhnya dan setiap kali kudengar ibu berteriak, “oooh…, oooh…, Jay”, dan tidak lama kemudian ibu mengeluh lagi, “Jayy…, Ibu capek Naak…, sudaah Jay…, Ibuu capeeek”, dan tanpa kuduga ibu lalu menjatuhkan dirinya tertidur tengkurap dengan nafasnya yang terengah-engah, sehingga mau tak mau penisku jadi keluar dari vaginanya.

Tanpa mempedulikan kata-katanya, segera saja kubalik badan ibu yang jatuh tengkurap. Sekarang sudah tidur telentang lagi, kuangkat kedua kakinya lalu kuletakkan di atas kedua bahuku. Ibu yang kulihat sudah tidak bertenaga itu hanya mengikuti saja apa yang kuperbuat. Segera saja kumasukkan penisku dengan mudah ke dalam vagina ibu mertuaku yang memang sudah semakin basah itu, kutekan dan kutarik kuat sehingga payudaranya yang memang sudah aggak lembek itu terguncang-guncang. Ibu mertuaku nafasnya terdengar sangat cepat, “Jayyy…, jangaan…, kuat-kuat Naak…, badan ibu sakit semua”, sambil memegang kedua tanganku yang kuletakkan di samping badannya untuk menahan badanku.

Mendengar kata-kata ibu mertuaku, aku menjadi tersadar dan teringat kalau yang ada di hadapanku ini adalah ibu mertuaku sendiri dan segera saja kehentikan gerakan penisku keluar masuk vaginanya serta kuturunkan kedua kaki ibu dari bahuku dan langsung saja kupeluk badan ibu serta kuucapkan, “Maaf…, Buu…, kalau saya menyakiti Ibu, saya akan mencoba untuk pelan-pelan”, segera saja ibu berucap, “Jay nggak apa-apa Nak, tapi Ibu lebih suka dengan posisi seperti ini saja, ayoo…, Jay mainkan lagi punyamu agar ibu cepat puaas”.
“Iyaa…, Buuu…, saya akan coba lagi”, sahutku sambil kembali kunaik-turunkan pantatku sehingga penisku keluar masuk vagina ibu dan kali ini aku lakukan dengan hati-hati agar tidak menyakiti badan ibu, dan ibu mertuakupun sekarang sudah mulai menggoyangkan pantatnya serta sesekali mempermainkan otot-otot di vaginanya, sehingga kadang-kadang terasa penisku terasa tertahan sewaktu memasuki liang vaginanya.

Ketika salah satu payudara ibu kuhisap-hisap puting susunya yang sudah mengeras itu, ibu mertuaku semakin mempercepat goyangan pinggulnya dan terdengar desahannya yang agak keras diantara nafasnya yang sudah mulai memburu, “ooohh…, aahh…, Jayyy…, teruuus…, oooh”, seraya meremas-remas rambutku lebih keras. Akupun ikut mempercepat keluar masuknya penisku di dalam vaginanya.

Goyangan pinggul ibu mertuakupun semakin cepat dan sepertinya sudah tidak bisa mengontrol dirinya lagi. Disertai nafasnya yang semakin terengah-engah dan kedua tangannya dirangkulkan ke punggungku kuat-kuat, ibu mengatakan dengan terbata-bata, “Nak Jayy…, aduuuh…, Ibuuu…, sudaah…, oooh…, mauuu kelluaar”. Aku sulit bernafas karena punggungku dipeluk dan dicengkeramnya dengan kuat dan kemudian ibu mertuaku menjadi terdiam, hanya nafasnya saja yang kudengar terengah-engah dengan keras dan genjotan penisku keluar masuk vaginanya. Untuk sementara aku hentikan untuk memberikan kesempatan pada ibu menikmati orgasmenya sambil kuciumi wajahnya, “Bagaimana…, Buuu?, mudah-mudahan ibu cukup puas.

Ibu mertuaku tetap masih menutup matanya dan tidak segera menjawab pertanyaanku, yang pasti nafas ibu masih memburu tetapi sudah mulai berkurang dibanding sebelumnya. Karena ibu masih diam, aku menjadi sangat kasihan dan kusambung pertanyaanku tadi di dekat telinganya, “Buu…, saya tahu ibu pasti capek sekali, lebih baik ibu istirahat dulu saja.., yaa?”, seraya aku mulai mengangkat pantatku agar penisku bisa keluar dari vagina ibu yang sudah sangat basah itu. Tetapi baru saja pantatku ingin kuangkat, ternyata ibu mertuaku cepat-cepat mencengkeram pinggulku dengan kedua tangannya dan sambil membuka matanya, memandang ke wajahku, “Jangaan…, Jayyy…, jangan dilepas punyamu itu, ibu diam saja karena ingin melepaskan lelah sambil menikmati punyamu yang besar itu mengganjal di tempat ibuuu, jangaan dicabut dulu…, yaa…, sayaang”, terus kembali menutup matanya.

Mendengar permintaan ibu itu, aku tidak jadi mencabut penisku dari dalam vagina ibu dan kembali kujatuhkan badanku pelan-pelan di atas badan ibu yang nafasnya sekarang sudah kelihatan mulai agak teratur, sambil kukatakan, “Tidaak…, Buuu…, saya tidak akan mencabutnya, saya juga masih kepingin terus seperti ini”, sambil kurangkul leher ibu dengan tangan kananku. Ibu hanya diam saja dengan pernyataanku itu, tetapi tiba-tiba penisku yang sejak tadi kudiamkan di dalam vaginanya terasa seperti dijepit dan tersedot vagina ibu mertuaku, dan tanpa sadar aku mengaduh, “Aduuuh…, oooh…, Buuu”.
“Kenapa…, sayaang…, enaak yaa?”, sahut ibu sambil mencium bibirku dengan lembut dan sambil kucium hidungnya kukatakan, “Buuu…, enaak sekaliii”, dan seperti tadi, sewaktu ibu mertuaku mula-mula menjepit dan menyedot penisku dengan vaginanya, secara tidak sengaja aku mulai menggerakkan lagi penisku keluar masuk vaginanya dan ibu mertuakupun kembali mendesah, “oooh…, aah…, Jay…, teruuus…, naak…, aduuuh…, enaak sekali”.

Semakin lama gerakan pinggul ibu semakin cepat dan kembali kudengar nafasnya semakin lama semakin memburu. Gerakan pinggul ibu kuimbangi dengan mempercepat kocokan penisku keluar masuk vaginanya. Makin lama aku sepertinya sudah tidak kuat untuk menahan agar air maniku tetap tidak keluar, “Buuu…, sebentar lagi…, sayaa…, sudaah…, mau keluaar”, sambil kupercepat penisku keluar masuk vaginanya dan mungkin karena mendengar aku sudah mendekati klimaks, ibu mertuakupun semakin mempercepat gerakan pinggulnya serta mempererat cengkeraman tangannya di punggungku seraya berkata, “Jayyy…, teruuuss…, Naak…, Ibuuu…, jugaa…, sudah dekat, ooohh…, ayooo Jayyy…, semprooot Ibuu dengan airmuu…, sekaraang”.
“Iyaa…, Buuu…, tahaan”, sambil kutekan pantatku kuat-kuat dan kami akhiri teriakan itu dengan berpelukan sangat kuat serta tetap kutekan penisku dalam-dalam ke vagina ibu mertuaku. Dalam klimaksnya terasa vagina ibu memijat penisku dengan kuat dan kami terus terdiam dengan nafas terengah-engah.

Setelah nafas kami berdua agak teratur, lalu kucabut penisku dari dalam vagina ibu dan kujatuhkan badanku serta kutarik kepala ibu mertuaku dan kuletakkan di dadaku.Setelah nafasku mulai teratur kembali dan kuperhatikan nafas ibupun begitu, aku jadi ingat akan tugas yang diberikan oleh istriku.
“Buuu…, apa ini yang menyebabkan ibu selalu marah-marah pada Bapak..?”, tanyaku.
“Mungkin saja Jay…, kenapa Jay?”, Sahutnya sambil tersenyum dan mencium pipiku.
“Buuu…, kalau benar, tolong ibu kurangi marah-marahnya kepada Bapak, kasihan dia”, ibu hanya diam dan seperti berfikir.
Setelah diam sebentar lalu kukatakan, “Buuu…, sudah siang lho, seraya kubangunkan tubuh ibu serta kubimbing ke kamar mandi.

Setelah peristiwa ini terjadi, ibu seringkali mengunjungi rumah kami dengan alasan kangen cucu dan anaknya Mur, tetapi kenyataannya ibu mertuaku selalu mengontakku melalui telepon di kantor dan meminta jatahnya di suatu motel, sebelum menuju ke rumahku. Untungnya sampai sekarang Istriku tidak curiga, hanya saja dia merasa aneh, karena setiap bulannya ibunya selalu mengunjung rumah kami.
read more “Kuberikan Kenikmatan Ibu Mertuaku ”

Ku Diajari Ngesex Oleh Tante Inggrid



Saya akan menceritakan bagaimana saya diperkenalkan kepada kenikmatan senggama pada waktu saya masih berumur 13 tahun oleh Inggrid, seorang wanita tetangga kami yang telah berumur jauh lebih tua. Saya dibesarkan didalam keluarga yang sangat taat dalam agama. Saya sebelumnya belum pernah terekspos terhadap hubungan laki-laki dan perempuan. Pengetahuan saya mengenai hal-hal persetubuhan hanyalah sebatas apa yang saya baca didalam cerita-cerita porno ketikan yang beredar di sekolah ketika saya duduk di bangku SMP.
Pada masa itu belum banyak kesempatan bagi anak lelaki seperti saya walaupun melihat tubuh wanita bugil sekalipun. Anak-anak lelaki masa ini mungkin susah membayangkan bahwa anak seperti saya cukup melihat gambar-gambar di buku mode-blad punya kakak saya seperti Paris Hilton, dimana terdapat gambar-gambar bintang film seperti Julia Perez, Margareth, yang memperagakan pakaian dalam, ini saja sudah cukup membuat kita terangsang dan melakukan masturbasi beberapa kali.
Bisalah dibayangkan bagaimana menggebu-gebunya gairah dan nafsu saya ketika diberi kesempatan untuk secara nyata bukan saja hanya bisa melihat tubuh bugil wanita seperti Inggrid, tetapi bisa mengalami kenikmatan bersanggama dengan wanita sungguhan, tanpa memperdulikan apakah wanita itu jauh lebih tua. Dengan hanya memandang tubuh Inggrid yang begitu mulus dan putih saja sucah cukup sebetulnya untuk menjadi bahan imajinasi saya untuk bermasturbasi, apalagi dengan secara nyata-nyata bisa merasakan hangatnya dan mulusnya tubuhnya. Apalagi betul-betul melihat kemaluannya yang mulus tanpa jembut. Bisa mencium dan mengendus bau kemaluannya yang begitu menggairahkan yang kadang-kadang masih berbau sedikit amis kencing perempuan dan yang paling hebat lagi buat saya adalah bisanya saya menjilat dan mengemut kemaluannya dan kelentitnya yang seharusnyalah masih merupakan buah larangan yang penuh rahasia buat saya.
Mungkin pengalaman dini inilah yang membuat saya menjadi sangat menikmati apa yang disebut cunnilingus, atau mempermainkan kemaluan wanita dengan mulut. Sampai sekarangpun saya sangat menikmati mempermainkan kemaluan wanita, mulai dari memandang, lalu mencium aroma khasnya, lalu mempermainkan dan menggigit bibir luarnya (labia majora), lalu melumati bagian dalamnya dengan lidah saya, lalu mengemut clitorisnya sampai si wanita minta-minta ampun kewalahan. Yang terakhir barulah saya memasukkan batang kemaluan saya kedalam liang sanggamanya yang sudah banjir.
Setelah kesempatan saya dan Inggrid untuk bermain cinta yang pertama kali itu, maka kami menjadi semakin berani dan Inggrid dengan bebasnya akan datang kerumah saya hampir setiap hari, paling sedikit 3 kali seminggu. Apabila dia datang, dia akan langsung masuk kedalam kamar tidur saya, dan tidak lama kemudian sayapun segera menyusul.
Biasanya dia selalu mengenakan daster yang longgar yang bisa ditanggalkan dengan sangat gampang, hanya tarik saja keatas melalui kepalanya, dan biasanya dia duduk dipinggiran tempat tidur saya. Saya biasanya langsung menerkam payudaranya yang sudah agak kendor tetapi sangat bersih dan mulus. Pentilnya dilingkari bundaran yang kemerah-merahan dan pentilnya sendiri agak besar menurut penilaian saya. Inggrid sangat suka apabila saya mengemut pentil susunya yang menjadi tegang dan memerah, dan bisa dipastikan bahwa kemaluannya segera menjadi becek apabila saya sudah mulai ngenyot-ngenyot pentilnya.
Mungkin saking tegangnya saya didalam melakukan sesuatu yang terlarang, pada permulaannya kami mulai bersanggama, saya sangat cepat sekali mencapai klimaks. Untunglah Inggrid selalu menyuruh saya untuk menjilat-jilat dan menyedot-nyedot kemaluannya lebih dulu sehingga biasanya dia sudah orgasme duluan sampai dua atau tiga kali sebelum saya memasukkan penis saya kedalam liang peranakannya, dan setelah saya pompa hanya beberapa kali saja maka saya seringkali langsung menyemprotkan mani saya kedalam vaginanya. Barulah untuk ronde kedua saya bisa menahan lebih lama untuk tidak ejakulasi dan Inggrid bisa menyusul dengan orgasmenya sehingga saya bisa merasakan empot-empotan vaginanya yang seakan-akan menyedot penis saya lebih dalam kedalam sorga dunia.
Inggrid juga sangat doyan mengemut-ngemut penis saya yang masih belum bertumbuh secara maksimum. Saya tidak disunat dan Inggrid  sangat sering menggoda saya dengan menertawakan "kulup" saya, dan setelah beberapa minggu Inggrid kemudian berhasil menarik seluruh kulit kulup saya sehingga topi baja saya bisa muncul seluruhnya. Saya masih ingat bagaimana dia berusaha menarik-narik atau mengupas kulup saya sampai terasa sakit, lalu dia akan mengobatinya dengan mengemutnya dengan lembut sampai sakitnya hilang. Setelah itu dia seperti memperolah permainan baru dengan mempermainkan lidahnya disekeliling leher penis saya sampai saya merasa begitu kegelian dan kadang-kadang sampai saya tidak kuat menahannya dan mani saya tumpah dan muncrat ke hidung dan matanya.
Kadang-kadang Inggrid juga minta "main" walaupun dia sedang mens. Walaupun dia berusaha mencuci vaginanya lebih dulu, saya tidak pernah mau mencium vaginanya karena saya perhatikan bau-nya tidak menyenangkan. Paling-paling saya hanya memasukkan penis saja kedalam vaginanya yang terasa banjir dan becek karena darah mensnya. Terus terang, saya tidak begitu menikmatinya dan biasanya saya cepat sekali ejakulasi. Apabila saya mencabut kemaluan saya dari vagina Inggrid, saya bisa melihat cairan darah mensnya yang bercampur dengan mani saya. Kadang-kadang saya merasa jijik melihatnya.
Satu hari, kami sedang asyik-asyiknya menikmati sanggama, dimana kami berdua sedang telanjang bugil dan Inggrid sedang berada didalam posisi diatas menunggangi saya. Dia menaruh tiga buah bantal untuk menopang kepala saya sehingga saya bisa mengisap-isap payudaranya sementara dia menggilas kemaluan saya dengan dengan kemaluannya. Pinggulnya naik turun dengan irama yang teratur.
Saya sudah ejakulasi sekali dan air mani saya sudah bercampur dengan jus dari kemaluannya yang selalu membanjir. Lalu tiba-tiba, pada saat dia mengalami klimaks dan dia mengerang-erang sambil menekan saya dengan pinggulnya, anak perempuannya yang bernama Nining ternyata sedang berdiri dipintu kamar tidur saya dan berkata, "Ibu main kuda-kudaan, ya..?"
Saya sangat kaget dan tidak tahu harus berbuat bagaimana tetapi karena sedang dipuncak klimaksnya, Inggrid diam saja terlentang diatas tubuh saya. Saya melirik dan melihat Nining datang mendekat ketempat tidur, matanya tertuju kebagian tubuh kami dimana penis saya sedang bersatu dengan dengan kemaluan ibunya. Lalu dia duduk di pinggiran tempat tidur dengan mata melotot.
"Hayo, ibu main kuda-kudaan," katanya lagi.
Lalu pelan-pelan Inggrid menggulingkan tubuhnya dan berbaring disamping saya tanpa berusaha menutupi kebugilannya. Saya mengambil satu bantal dan menutupi perut dan kemaluan saya .
"Nining, Nining. Kamu ngapain sih disini?" kata Inggrid  lemas.
"Nining pulang sekolah agak pagi dan Nining cari-cari Ibu dirumah, tahunya lagi kuda-kudaan sama Bang Dino," kata Inggrid tanpa melepaskan matanya dari arah kemaluan saya. Saya merasa sangat malu tetapi juga heran melihat Inggrid tenang-tenang saja.
"Nining juga mau kuda-kudaan," kata Nining tiba-tiba.
"E-eh, Nining masih kecil.." kata ibunya sambil berusaha duduk dan mulai mengenakan dasternya.
"Nining mau kuda-kudaan, kalau nggak nanti Nining bilangin Ayah."
"Jangan Nining, jangan bilangin Ayah.., kata Inggrid membujuk.
"Nining mau kuda-kudaan," Nining membandel. "Kalo nggak nanti Nining bilangin Ayah.."
"Iya udah, diam. Sini, biar Dino Kuda-kudaan sama Nining." Inggrid berkata.
Saya hampir tidak percaya akan apa yang saya dengar. Jantung saya berdegup-degup seperti alu menumbuk. Saya sudah sering melihat Nining bermain-main di pekarangan rumahnya dan menurut saya dia hanyalah seorang anak yang masih begitu kecil. Dari mana dia mengerti tentang "main kuda-kudaan" segala?
Inggrid  mengambil bantal yang sedang menutupi kemaluan saya dan tangannya mengelus-ngelus penis saya yang masih basah dan sudah mulai berdiri kembali.
"Sini, biar Nining lihat." Inggrid mengupas kulit kulup saya untuk menunjukkan kepala penis saya kepada Nining. Nining datang mendekat dan tangannya ikut meremas-remas penis saya. Aduh maak, saya berteriak dalam hati. Bagaimana ini kejadiannya? Tetapi saya diam saja karena betul-betul bingung dan tidak tahu harus melakukan apa.
Tempat tidur saya cukup besar dan Inggrid kemudian menyutuh Nining untuk membuka baju sekolahnya dan telentang di tempat tidur didekat saya. Saya duduk dikasur dan melihat tubuh Nining yang masih begitu remaja. Payudaranya masih belum berbentuk, hampir rata tetapi sudah agak membenjol. Putingnya masih belum keluar, malahan sepertinya masuk kedalam. Inggrid kemudian merosot celana dalam Nining dan saya melihat kemaluan Nining yang sangat mulus, seperti kemaluan ibunya. Belum ada bibir luar, hanya garis lurus saja, dan diantara garis lurus itu saya melihat itilnya yang seperti mengintip dari sela-sela garis kemaluannya. Nining merapatkan pahanya dan matanya menatap kearah ibunya seperti menunggu apa yang harus dilakukan selanjutnya.
Saya mengelus-elus bukit venus Nining yang agak menggembung lalu saya coba merenggangkan pahanya. Dengan agak enggan, Nining menurut, dan saya berlutut di antara kedua pahanya dan membungkuk untuk mencium selangkangan Nining.
"Ibu, Nining malu ah.." kata Nining sambil berusaha menutup kemaluannya dengan kedua tangannya.
"Ayo, Nining mau main kuda-kudaan, ndak?" kata Inggrid.
Saya mengendus kemaluan Nining dan baunya sangat tajam.
"Uh, bau pesing." Saya berkata dengan agak jijik. Saya juga melihat adanya "keju" yang keputih-putihan diantara celah-celah bibir kemaluan Nining.
"Tunggu sebentar," kata Inggrid yang lalu pergi keluar kamar tidur. Saya menunggu sambil mempermainkan bibir kemaluan Nining dengan jari-jari saya. Nining mulai membuka pahanya makin lebar.
Sebentar kemudian Inggrid datang membawa satu baskom air dan satu handuk kecil. Dia pun mulai mencuci kemaluan Nining dengan handuk kecil itu dan saya perhatikan kemaluan Nining mulai memerah karena digosok-gosok Inggrid dengan handuk tadi. Setelah selesai, saya kembali membongkok untuk mencium kemaluan Nining. Baunya tidak lagi setajam sebelumnya dan sayapun menghirup aroma kemaluan Nining yang hanya berbau amis sedikit saja. Saya mulai membuka celah-celah kemaluannya dengan menggunakan lidah saya dan Nining-pun merenggangkan pahanya semakin lebar. Saya sekarang bisa melihat bagian dalam kemaluannya dengan sangat jelas. Bagian samping kemaluan Nining kelihatan sangat lembut ketika saya membuka belahan bibirnya dengan jari-jari saya, kelihatanlah bagian dalamnya yang sangat merah.
Saya isap-isap kemaluannya dan terasa agak asin dan ketika saya mempermainkan kelentitnya dengan ujung lidah saya, Nining menggeliat-geliat sambil mengerang, "Ibu, aduuh geli, ibuu.., geli nian ibuu.."
Saya kemudian bangkit dan mengarahkan kepala penis saya kearah belahan bibir kemaluan Nining dan tanpa melihat kemana masuknya, saya dorong pelan-pelan.
"Aduh, sakit bu..," Nining hampir menjerit.
"Dino, pelan-pelan masuknya." Kata Inggrid sambil mengelus-elus bukit Nining.
Saya coba lagi mendorong, dan Nining menggigit bibirnya kesakitan.
"Sakit, ibu."
Inggrid  bangkit kembali dan berkata,"Dino tunggu sebentar," lalu dia pergi keluar dari kamar.
Saya tidak tahu kemana Inggrid perginya dan sambil menunggu dia kembali sayapun berlutut didepan kemaluan Nining dan sambil memegang batang penis, saya mempermainkan kepalanya di clitoris Nining. Nining memegang kedua tangan saya erat-erat dengan kedua tangannya dan saya mulai lagi mendorong.
Saya merasa kepala penis saya sudah mulai masuk tetapi rasanya sangat sempit. Saya sudah begitu terbiasa dengan lobang kemaluan Inggrid yang longgar dan penis saya tidak pernah merasa kesulitan untuk masuk dengan mudah. Tetapi liang vagina Nining yang masih kecil itu terasa sangat ketat. Tiba-tiba Nining mendorong tubuh saya mundur sambil berteriak, "Aduuh..!" Rupanya tanpa saya sadari, saya sudah mendorong lebih dalam lagi dan Nining masih tetap kesakitan.
Sebentar lagi Inggrid  datang dan dia memegang satu cangkir kecil yang berisi minyak kelapa. Dia mengolesi kepala penis saya dengan minyak itu dan kemudian dia juga melumasi kemaluan Nining. Kemudian dia memegang batang kemaluan saya dan menuntunnya pelan-pelan untuk memasuki liang vagina Nining. Terasa licin memang dan saya-pun bisa masuk sedikit demi sedikit. Nining meremas tangan saya sambil menggigit bibir, apakah karena menahan sakit atau merasakan enak, saya tidak tahu pasti.
Saya melihat Nining menitikkan air mata tetapi saya meneruskan memasukkan batang penis saya pelan-pelan.
"Cabut dulu," kata Inggrid tiba-tiba.
Saya menarik penis saya keluar dari lobang kemaluan Nining. Saya bisa melihat lobangnya yang kecil dan merah seperti menganga. Inggrid kembali melumasi penis saya dan kemaluan Nining dengan minyak kelapa, lalu menuntun penis saya lagi untuk masuk kedalam lobang Nining yang sedang menunggu. Saya dorong lagi dengan hati-hati, sampai semuanya terbenam didalam Nining. Aduh nikmatnya, karena lobang Nining betul-betul sangat hangat dan ketat, dan saya tidak bisa menahannya lalu saya tekan dalam-dalam dan air manikupun tumpah didalam liang kemaluan Nining. Nining yang masih kecil. Saya juga sebetulnya masih dibawah umur, tetapi pada saat itu kami berdua sedang merasakan bersanggama dengan disaksikan Inggrid, ibunya sendiri.
Nining belum tahu bagaimana caranya mengimbangi gerakan bersanggama dengan baik, dan dia diam saja menerima tumpahan air mani saya. Saya juga tidak melihat reaksi dari Nining yang menunjukkan apakah dia menikmatinya atau tidak. Saya merebahkan tubuh saya diatas tubuh Nining yang masih kurus dan kecil itu. Dia diam saja.
Setelah beberapa menit, saya berguling kesamping dan merebahkan diri disamping Nining. Saya merasa sangat terkuras dan lemas. Tetapi rupanya Inggrid sudah terangsang lagi setelah melihat saya menyetubuhi anaknya. Diapun menaiki wajah saya dan mendudukinya dan menggilingnya dengan vaginanya yang basah, dan didalam kami di posisi 69 itu diapun mengisap-ngisap penis saya yang sudah mulai lemas sehingga penis saya itu mulai menegang kembali.
Wajah saya begitu dekat dengan anusnya dan saya bisa mencium sedikit bau anus yang baru cebok dan entah kenapa itu membuat saya sangat bergairah. Nafsu kami memang begitu menggebu-gebu, dan saya sedot dan jilat kemaluan Inggrid sepuas-puasnya, sementara Nining menonton kami berdua tanpa mengucapkan sepatah katapun. Saya sudah mengenal kebiasaan Inggrid dimana dia sering kentut kalau betul-betul sedang klimaks berat, dan saat itupun Inggrid kentut beberapa kali diatas wajah saya. Saya sempat melihat lobang anusnya ber-getar ketika dia kentut, dan sayapun melepaskan semburan air mani saya yang ketiga kalinya hari itu didalam mulut Inggrid. "Alangkah lemaknyoo..!" saya berteriak dalam hati.
"Ugh, ibu kentut," kata Nining tetapi Inggrid hanya bisa mengeluarkan suara seperti seseorang yang sedang dicekik lehernya.
Hanya sekali itu saja saya pernah menyetubuhi Nining. Ternyata dia masih belum cukup dewasa untuk mengetahui nikmatnya bersanggama. Dia masih anak kecil, dan pikirannya sebetulnya belum sampai kepada hal-hal seperti itu. Tetapi saya dan Inggrid terus menikmati indahnya permainan bersanggama sampai dua atau tiga kali seminggu. Saya masih ingat bagaimana saya selalu merasa sangat lapar setelah setiap kali kami selesai bersanggama. Tadinya saya belum mengerti bahwa tubuh saya menuntut banyak gizi untuk menggantikan tenaga saya yang dikuras untuk melayani Inggrid, tetapi saya selalu saya merasa ingin makan telur banyak-banyak. Saya sangat beruntung karena kami kebetulan memelihara beberapa puluh ekor ayam, dan setiap pagi saya selalu menenggak 4 sampai 6 butir telur mentah. Saya juga memperhatikan dalam tempo setahun itu penis saya menjadi semakin besar dan bulu jembut saya mulai menjadi agak kasar. Saya tidak tahu apakah penis saya cukup besar dibandingkan suami Inggrid ataupun lelaki lain. Yang saya tahu adalah bahwa saya sangat puas, dan kelihatannya Inggrid juga cukup puas.
Saya tidak merasa seperti seorang yang bejat moral. Saya tidak pernah melacur dan ketika saya masih kawin dengan isteri saya yang orang bule, walaupun perkawinan kami itu berakhir dengan perceraian, saya tidak pernah menyeleweng. Tetapi saya akan selalu berterima kasih kepada Inggrid (entah dimana dia sekarang) yang telah memberikan saya kenikmatan didalam umur yang sangat dini, dan pelajaran yang sangat berharga didalam bagaimana melayani seorang perempuan, terlepas dari apakah itu salah atau tidak.
read more “Ku Diajari Ngesex Oleh Tante Inggrid ”

Kenikmatan Ibu KostKu



Sudah hampir setahun Mulyadi tinggal di tempat kost bu Marta. Bisa tinggal di tempat kost ini awalnya secara tidak sengaja ketemu bu Marta di pasar. Waktu itu bu Marta kecopetan, trus teriak dan kebetulan Mulyadi yang ikut menolong menangkap copet dan mengembalikan dompet bu Marta. Trus ngobrol sebentar, kebetulan Mulyadi lagi cari tempat kost yang baru dan tidak secara kebetulan bu Marta mengatakan dia punya tempat kost atau bisa di bilang rumah bedengan yang dikontrakkan, yah jadi deh tinggal di kost-an bu Marta.

Bu Marta lumayan baik terhadap Mulyadi, kelewat baik malah, karena sampai saat ini Mulyadi sudah telat bayar kontrak rumah 3 bulan, dan bu Marta masih adem-adem aja. Mungkin masih teringat pertolongan waktu itu. Tapi justru Mulyadi yang gak enak, tapi mau gimana, lha emang duit lagi seret. akhirnya Mulyadi lebih banyak menghindar untuk ketemu langsung dengan bu Marta.

Sampai satu hari…… waktu itu masih sore jam 4. Mulyadi masih tidur-tiduran dengan malasnya di kamarnya. Tempat kost itu berupa kamar tidur dan kamar mandi di dalam. Terdengar pintu kamarnya di ketok… tok..tok..tok.. lalu suara bu Marta yang manggil,”Mul…Mulyadi… ada di dalem gak?” Sontak Mulyadi bangun, wah bisa berabe kalo nanyain duit sewa kamar nie, pikir Mulyadi. Dengan cepat meraih handuk, pura-pura lagi mandi aja ah, ntar juga bu Marta pergi sendiri. Setelah masuk kamar mandi kembali terdengar suara bu Marta,” Mul lagi tidur ya..?” dan dari kamar mandi Mulyadi menyahut sedikit teriak,” lagi mandi bu….”

Sesaat tidak ada sahutan, tapi kemudian suara bu Marta jadi dekat,”ya udah mandi aja dulu Mul,  ibu tunggu di sini ya…” eh ternyata masuk ke kamar, Mulyadi tadi gak mengunci pintu. “busyet dah, terpaksa bener-bener harus mandi nie,”pikir Mulyadi.

Sekitar lima belas menit Mulyadi di kamar mandi, sengaja mandinya agak dilamain dengan maksud siapa tau bu Marta bosan trus gak jadi nunggu. Tapi rasanya percuma lama-lama toh bu Marta sepertinya masih menunggu. Akhirnya keluar juga Mulyadi dari kamar mandi, dengan hanya handuk yang melilit di pinggang, tidak pakai celana dalem lagi, maklum tadi gak sempet ambil karena terburu-buru.

Bu Marta tersenyum manis melihat Mulyadi yang salah tingkah,”lama juga kamu mandi ya Mul…” bu Marta membuka pembicaraan. “pasti bersih banget mandinya ya…” gurau bu Marta sambil sejenak melirik dada bidang Mulyadi. “ah ibu bisa aja… biasa aja kok bu.., oh ya ada apa ya bu..?” jawab Mulyadi sekenanya saja sambil mengambil duduk di pinggiran tempat tidur. Bu Marta mendekat dan duduk di samping Mulyadi, “Cuma mau ngingetin aja, uang sewa kamarmu dah telat 3 bulan lho… trus mau ngobrol-ngobrol aja sama kamu, kan dah lama gak ngobrol, kamu sie pergi mlulu…”ucap bu Marta. Mulyadi jadi kikuk,”wahduh… kalo uang sewanya ntar aku bayar cicil boleh gak bu? Soalnya lagi seret nie…” jawab Mulyadi dengan sedikit memohon.

Bu Marta terlihat sedikit berpikir…”mmmm… boleh deh, tapi jangan lama-lama ya… emang uangmu di pakai untuk apa sie?” terlihat bu Marta sedikit menyelidik. “hmmm… pasti buat cewe mu ya…”dia terlihat kurang senang.

“ah nggak juga kok bu….. saya emang lagi ada keperluan,” jawab Mulyadi hati-hati melihat raut wajah bu Marta yang kurang senang.

“huh…laki-laki sama aja, kalo lagi ada maunya, apa aja pasti di kasih pada perempuan yang lagi di dekatinya, hhhh… sama aja dengan suamiku….”keluh bu Marta dengan nada kesal.

Waduh nampaknya bu Marta lagi marahan nie sama suaminya, jangan-jangan amarahnya ditumpahkan pula sama Mulyadi. Dengan cepat Mulyadi menjawab,”tapi saya janji kok bu, akan saya lunasi kok…”

“hhhhh….”bu Marta menghela nafas,”udahlah Mulyadi, gak apa-apa kok, gak di bayar juga kalo buat kamu ga masalah… ibu Cuma lagi kesel aja sama suamiku, dia cuma perhatiannya sama Sulastri terus… aku seperti gak dianggap lagi, mentang-mentang Sulastri jauh lebih muda ya.”

sedikit penjelasan bahwa bu Marta ini istri pertama dari pak Sugeng, sedangkan istri keduanya bu Sulastri. Dan sekarang sepertinya pak Sugeng lebih sering tinggal di rumahnya yang satu lagi bersama bu Sulastri dan bu Marta tampaknya udah mulai kesepian nie

“wah kalo masalah keluarga sie aku kurang paham bu…. “jawab Mulyadi kikuk

“gak apa-apa Mul, ibu hanya mau curhat aja sama kamu… boleh kan Mul?” suara bu Marta sendu. Agak lama terdiam, terdengar tarikan nafas bu Marta terasa berat, dan sedikit sesunggukan, waduh lama-lama bisa nangis nie, gawat dong pikir Mulyadi.

“udah bu jangan terlalu dipikirkan, nanti juga pak Sugeng kembali lagi kok, kan ibu juga gak kalah cantiknya sama bu Sulastri,” Mulyadi bermaksud menghibur.

“ah kamu Mul… emang ibu masih cantik menurutmu?” bu Marta menatap sendu ke arah Mulyadi, terlihat dua butir air mata mengalir di pipinya. Uhh…. ingin rasanya Mulyadi menghapus air mata itu, pak Sugeng emang keterlaluan masa wanita cantik nan elok seperti ini dianggurin sie, coba Mulyadi bisa berbuat sesuatu… busyet… Mulyadi memaki dalam hati… “kenapa otak gwa jadi kotor gini.”

Dengan sedikit gugup Mulyadi menjawab,”mmm…eee…iya kok bu, ibu masih cantik, kalo masih gadis mungkin aku yang duluan tergoda.” Uupsss …. Maksud hati ingin menghibur, tapi kenapa kata-kata yang menggoda yang keluar dari mulut… gerutu Mulyadi dalam hati. Mulyadi jadi panik, jangan-jangan bu Marta marah dengan ucapan Mulyadi. Tapi ternyata Mulyadi salah, karena bu Marta tersenyum, manis sekali dengan deretan gigi yang putih dan rapi,”ih  Mulyadi bisa aja menghibur…. Iya juga sie, kalo masih gadis bisa aja tergoda, pantes aja suamiku gak ngelirik aku lagi, bis nya dah tua sie…” rona wajah bu Marta berubah sedih lagi,”kalo menurutmu Mul, apa ibu emang gak menarik lagi…?” sambil berdiri dan memperhatikan tubuhnya kemudian menatap Mulyadi minta penilaian. Terang aja Mulyadi makin kikuk,”wah aku mau ngomong apa ya bu…? Takutnya nanti di bilang lancang lho… tapi kalo mau jujur…. Ibu cantik banget, seperti masih 30an deh.”

Bu Marta tampaknya senang dengan pujian itu,”hmmm.. kamu ada-ada aja saja… ibu udah 43 lho.. emang Mulyadi liat dari mananya bisa bilang begitu?”

Mulyadi jadi cengar cengir,” ….itu penilaian laki-laki lho bu, saya malu bilangin nya.”

Bu Marta kembali duduk mendekat, sekarang malah sangat dekat hampir merapat ke Mulyadi sambil berkata,” ah.. gak perlu malu…. Bilang aja…”

Nafas Mulyadi terasa sesak, badan nya terasa panas dingin menghadapi tatapan bu Marta, matanya indah dengan bulu mata yang lentik, sesaat kemudian Mulyadi mengalihkan pandangan ke arah tubuh bu Marta mencari alasan penilaian tadi, uups baru deh Mulyadi memperhatikan bahwa bu Marta memakai baju terusan seperti daster tapi dengan lengan yang berupa tali dan diikat simpul di bahunya. Hmmm .. kulit itu mulus kuning langsat dengan tali baju dan tali bra yang saling bertumpuk di bahu, pandangan Mulyadi beralih ke bagian depan uupss… terlihat belahan dada yang hmmm… sepertinya buah dada itu lumayan besar. Sentuhan lembut tangan bu Marta di paha Mulyadi yang masih dibungkus handuk cepat menyadarkan Mulyadi. Dengan penuh selidik bu Marta bertanya,”lho… kok jadi bengong sie..? apa dong alasannya tadi bilang ibu masih 30an…”

Mulyadi sedikit tergagap karena merasa ketahuan terlalu lama memandangi tubuh bu Marta,”mmm… eeemm.. ibu benar-benar masih cantik, kulitnya masih kencang… masih sangat menggoda…”

Tidak ada jawaban dari mulut bu Marta, hanya pandangan mata yang kini saling beradu, saling tatap untuk beberapa saat… dan seperti ada magnet yang kuat, wajah bu Marta makin mendekat, dengan bibir yang semakin merekah. Mulyadi pun seakan terbawa suasana, dan tanpa komando lagi, Mulyadi menyambut bibir merah bu Marta, desahan nafas mulai terasa berat hhhh…hhhh…ciuman terus bertambah dahsyat, bu Marta menjulurkan lidahnya masuk menerobos ke mulut Mulyadi, dan dibalas dengan lilitan lidah Mulyadi sehingga lidah tersebut berpilin-pilin dan kemudian deru nafas semakin berat terasa.

Dengan naluri yang alami, tangan Mulyadi merambat naik ke bahu bu Marta, dengan sekali tarik, terlepas tali pengikat baju di bahu tersebut dan dengan lembut Mulyadi meraba bahu bu Marta sampai ke lehernya…. Kemudian turun ke arah dada, dengan remasan lembut Mulyadi meremas payudara yang masih terbungkus bra itu. “hhhhh…hhhh” nafas bu Marta, mulai terasa menggebu, nampaknya gairah birahinya mulai memuncak. Jemari lentik bu Marta tak ketinggalan meraba dan mengelus lembut dada Mulyadi… melingkari pinggang Mulyadi, mencari lipatan handuk, hendak membukanya…

Uupps…. Mulyadi tersentak dan sadar….,”ups…hhh… maaf bu… maaf bu… saya terbawa suasana….” Mulyadi tertunduk tak berani menatap bu Marta sambil merapikan kembali handuknya, baru kemudian dengan sedikit takut melihat ke arah bu Marta.

Terlihat bu Marta pun agak tersentak, tapi tidak berusaha merapikan pakaiannya, sehingga tubuh bagian atas yang hanya tertutup bra itu dibiarkan terbuka. Pemandangan yang menakjubkan. “napa Mul… kita sudah memulainya… dan kamu sudah membangkitkan kembali gairah ibu yang lama terpendam… kamu harus menyelesaikannya Mul…” tatapan bu Marta terlihat semakin sendu…
“mmm… ibu gak marah..? gimana nanti kalo ada yang lihat bu… bisa gawat dong… pak Sugeng juga bisa marah besar bu…” jawab Mulyadi.

Tanpa menjawab bu Marta bangkit berdiri, namun karena tidak merapikan pakaiannya, otomatis baju terusan yang dipakai jadi melorot jatuh ke lantai. Mulyadi terpana melihat tubuh indah itu, sedikit berlemak di perut dan bokongnya namun itu malah menambah seksi lekuk tubuh bu Marta. Kemudian dengan tenang bu Marta melangkah ke arah pintu kamar dan menguncinya. Saat berjalan membelakangi Mulyadi itu nampak gerakan bokong bu Marta naik turun, dan perasaan Mulyadi semakin tegang dengan nafsu yang semakin tak tertahankan, demikian juga saat bu Marta berbalik dan melangkah kembali menuju tempat tidur, Mulyadi tidak melepaskan sedikit pun gerakan bu Marta. Sampai bu Marta berdiri dekat di depan Mulyadi dan berkata,”kamarnya udah di kunci Mul, dan gak ada yang akan mengganggu….”

Mulyadi tidak langsung menjawab, menghidupkan tape dengan suara yang agak besar, setidaknya untuk menyamarkan suara yang ada di ruangan. Bu Marta kembali duduk di pinggiran tempat tidur, dan membuka bra yang digunakannya.Mulyadi mendekat dan duduk di samping bu Marta … hmmm… nampak payudara itu masih montok dan kenyal, ingin Mulyadi langsung melahap dengan mulut dan menjilatnya.

Bu Marta yang memulai gerakan dengan melingkarkan lengannya ke leher Mulyadi, menarik wajah dan langsung melumat bibir Mulyadi dengan nafsu yang membara. Mulya membalas dengan tidak kalah sengit, sambil meladeni serangan bibir dan lidah bu Marta, tangan Mulyadi meremas payudara montok milik bu Marta. Desahan nafas menderu di seputar ruangan, diselingi alunan musik menambah gairah. Setelah beberapa saat, bu Marta mendorong lembut badan Mulyadi, menyudahi pertempuran mulut dan lidah, dengan nafas yang memburu. Mulyadi mendorong lembut tubuh bu Marta, berbaring terlentang dengan kaki tetap menjuntai di pinggiran tempat tidur. Dada yang penuh dengan gunung kembar itu seakan menantang dengan puting yang telah tegang. Tanpa menunggu lagi Mulyadi melaksanakan tugasnya menjelajahi gunung kembar itu mulai dari lembah antara, melingkari dan menuju puncak puting. Dengan gemas Mulyadi menyedot dan memainkan puting susu itu sambil tangan meremas payudara kembarannya ………………… “HHHH…. AHHH….MMMH….”suara bu Marta mulai kencang terdengar, desahan-desahan nikmat yang semakin menggairahkan.Mulyadi  melanjutkan penjelajahan dengan menyusuri lembah payudara menuju perut dan sebentar memainkan lidah pada udel bu Marta yang menggelinjang kegelian.

Mulyadii menghentikan penjelajahan lidah, kemudian dengan cekatan menarik celana dalam bu Marta, melepaskan dan membuang ke lantai. Dengan spontan bu Marta mengangkat kaki ke atas tempat tidur dan memuka lebar pahanya, terlihat gundukan vagina dengan rambut-rambut yang tertata rapi. Mulyadi mulai kembali aksi dengan menjilati menyusuri paha bu Marta yang halus mulus, terus mendekat ke selangkangan menemui bibir vagina yang mulai mengeluarkan cairan senggama. Tanpa menunggu lama, Mulyadi menyapu cairan senggama itu dengan lidahnya dan meneruskan penjelajahan lidah sepanjang bibir vagina bu Marta dan sesekali menggetarkan lidah pada klitorisnya yang membuat bu Marta mengerang kenikmatan,”AHHHH…. MMMMH… HHH… Mul….UHH…”desahan birahi yang memuncak dari bu Marta membuat Mulyadi semakin bersemangat dan sesekali lidah di julurkan mencoba masuk ke liang senggama yang menanti pemenuhan itu.

Setelah beberapa menit Mulyadi mengeksplorasi liang kewanitaan itu, nampaknya bu Marta tidak sabar lagi menuntut pemenuhan hasrat birahinya,”Mul…. Ayo sayang… masukkin Mul… hhhh…mmmmh.” Suara bu Marta ditingkahi desahan-desahan yang semakin kencang.

Dengan tenang Mulyadi menyudahi penjelajahan lidah dan bersiap bertempur yang sesungguhnya. Dengan sekali tarik lepaslah handuk yang melilit di pinggang dan bebas mengacung penis dengan bagian kepala yang merah mengkilap. Bu Marta semakin membuka lebar pahanya, besiap menanti pemenuhan terhadap liang wanitanya. Mulyadi naik ke tempat tidur dan langsung mengarahkan batang penis ke arah vagina bu Marta yang dengan sigap lansung meraih dan meremas batang kemaluan Mulyadi dan membantu mengarahkannya tepat ke liang vaginanya.

Dengan sekali dorongan penis Mulyadi amblas sampai setengahnya. Mulyadi menahan gerakan sebentar menikmati prosesi masuknya penis yang disambut desahan bu Marta,” AHHH….TERUSKAN Mul….AHHH.” kemudian dengan meresapi masuknya penis sampai sedalam-dalamnya. Setelah dorongan pertama dan batang zakar yang masuk seluruhnya barulah Mulyadi memompa menaik turunkan pantat dengan irama beraturan seakan mengikuti irama musik yang terasa semakin menggebu dan hot.

Mulyadi bertumpu pada kedua siku lengan sedangkan bu Marta mencengkam punggung Mulyadi, meresapi dorongan dan tarikan penis yang bergerak nikmat di liang senggamanya. Suara desahan bercampur aduk dengan alunan musik dan peluh mulai bercucuran di sekujur tubuh,”AH..AH..AH..MMH…MHH…HHHH.” tak hentinya desahan meluncur dari bibir Mulyadi dan bu Marta. Sesaat Mulyadi menghentikan gerakan untuk mencoba mengambil nafas segar, bu Marta memeluk Mulyadi dan menggulingkan badan tanpa melepas penis yang tetap berada di liang vaginanya. Dengan posisi di atas dan setengah berjongkok, bu Marta memompa dan menaikturunkan pantatnya dengan badan bertumpu pada lengan. Sesekali bu Marta memutar pantatnya dan kemudian memasukkan batang zakarMulyadi lebih dalam. Mulyadi tak diam saja, tangan meremas kedua payudara yang menggantung bebas dan menarik-narik puting susu bu Marta. Suasana makin membara dengan peluh yang bercucuran, sampai saat bu Marta seperti tak sanggup melanjutkan pompaan karena birahi yang hendak mencapai puncak pemenuhan. Dengan sigap Mulyadi membalikkan posisi, bu Marta kembali berada di bawah, dengan mempercepat tempo dorongan Mulyadi meneruskan pertempuran. “Mul…AHH..AH..AH..UH…TERUS ZACK…. AHHH…AHH IBU SAMPAI…Mul….AHHHHHHHHH… MMMMMHHH.” Setelah teriakan tertahan bu Marta mengatup bibirnya menikmati orgasme yang didapat, tubuhnya sedikit bergetar. Mulyadi merasa vagina yang mengalami orgasme itu berkedut-kedut seperti menyedot zakarnya. Mulyadi menikmatinya dengan memutar –mutar pantatnya dan memasukkan lebih dalam lagi batang zakarnya, dan terasa ada dorongan kuat menyelimuti batang zakarnya, semakin besar dan sesaat Mulyadi kembali mendorong batangnya dengan cepat dan saat terakhir menarik keluar batanga zakarnya dan melepaskan air maninya di atas perut bu Marta…. Yang dengan cepat meraih penis Mulyadi dan mengocoknya sampai air mani itu berhenti muncrat, dengan lembut bu Marta mengusap penis yang mulai turun ketegangannya. Mulyadi membaringkan tubuhnya disamping bu Marta. Terdiam untuk beberapa saat.

Bu Marta bangkit duduk meraih kain di pinggiran tempat tidur dan menyeka sisa air mani di perutnya. Kemudian dengan manja membaringkan tubuhnya diatas Mulyadi. “makasih ya sayang… ini rahasia kita berdua… I love u Mulyadi,” bisik mesra bu Marta di telinga Marta.

“mmm…baik bu…”belum sempat Mulyadi menyelesaikan ucapannya, jari telunjuk bu Marta menempel di bibirnya, “kalo lagi berdua gini jangan pangil ibu dong…”ucap bu Marta manja.

“iya sayang….” Balas Mulyadi, senyum manis merekah di bibir seksi bu Marta.

Setelah itu dengan cepat Mulyadi dan bu Marta merapikan pakaian, dan sebelum meninggalkan Mulyadi, bu Marta berbisik mesra,”sayang… tar malem suamiku gak ada di rumah….. aku tunggu di kamar ya… berapa ronde pun dilakoni buat Mulyadi sayang.” Sambil berpelukan mesra, Mulyadi menyanggupi ajakan bu Marta.
read more “Kenikmatan Ibu KostKu ”