Google Translate

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Rabu, 12 Februari 2014

AKHIRNYA KENA


Di Bandung aku kembali menangani kesibukan-kesibukan rutinku. Sengaja aku menyibukkan diriku, maksudnya supaya jangan memberi peluang terhadap Adli. Memang beberapa kali dia berusaha mendekati diriku, dan mencoba mengajakku ngobrol. Tapi terus kucari jalan untuk tidak terlalu bersikap akrab dengannya. Demikianlah hal ini terus berlangsung, barangkali sampai hampir dua minggu sejak acara penyelewenganku dengan Adli. Aku sadar bahwa apa yang kulakukan ini mungkin menyakitinya atau malah membuatnya marah, tapi kuanggap langkah yang terbaik pada saat itu. Tentunya aku tidak pernah memperkirakan bahwa Adli akan berani berbuat nekad. Rupanya perkiraanku itu salah.

Pada suatu kesempatan aku terpaksa bekerja sampai jauh malam. Sebelumnya telah kuberitahu suamiku bahwa ada kegiatan ’stock-taking’ yang harus kuawasi. Begitu sibuknya aku sampai-sampai aku kehilangan kewaspadaanku. Tanpa kusadari tinggal aku berdua dengan seorang tenaga pembukuan, sedang karyawan-karyawanku lainnya sudah kuijinkan pulang lebih dahulu. Karena masih ada beberapa surat yang perlu kubaca, setelah pekerjaan selesai kubiarkan pegawai tata-bukuku untuk berpamitan. Aku merasa tenang saja karena bukankah ada Pak soleh supirku yang masih menunggu untuk nanti mengantarku pulang. Pada waktu akhirnya aku siap untuk pulang kukemasi semua dokumen yang penting dan kumasukkan ke dalam tasku. Tiba-tiba aku sadar betapa lelahnya rasa tubuhku. Sedemikian letihnya lebih daripada yang biasanya. Lalu akupun melangkah keluar bangunan kantorku. Di luar sudah sepi sekali, hanya tampak di lataran parkir mobil yang akan membawaku pulang. Segera aku menuju ke arah kendaraanku, lalu membuka pintu dan masuk kedalamnya. Satpam yang tadinya akan membukakan aku pintu kusuruh langsung membuka pintu pagar. Dengan tenang tanpa rasa curiga kusandarkan tubuhku ke jok mobil. Pelupuk mataku rasanya berat sekali, keadaan diriku benar-benar seperti sangat mengantuk.

Setelah beberapa saat baru aku menyadari bahwa pak Soleh kali ini kurang enak mengendarai mobinya. Langsung saja kutegur dia dengan menyebut namanya. Suara yang menjawab membuatku terkejut. “Pak Soleh tadi udah disuruh pulang neng, malam ini biar Adli aja yang nganter. “Ya ampun ini kan suara si Adli. “Aduh Adli apa-apan kamu, memangnya kamu bisa nyetir,” … tanyaku padanya. “Yah masih belajar sih neng, tapi kalau sedikit-sedikit Adli udah lumayan bisa,” … demikian penjelasannya sekenanya saja. Aku diam saja, berharap segera sampai ke rumah. Tapi beberapa menit kemudian hatiku menjadi was-was. Kendaraan yang kutumpangi ini rupanya sedang menuju ke suatu arah yang tak kukenal. “Adli, salah jalan nih,” … kataku menegurnya. “Nggak neng, memang disengaja, soalnya Adli perlu bicara empat mata sama neng Mimien.” Sia-sia kuminta ia untuk besok saja menemuiku di kantor. Alasannya harus malam ini juga, karena menurut dia sudah beberapa lama ini kelihatannya aku berusaha menghindari dirinya. Aku mulai keringat dingin, bahkan timbul rasa takut di hatiku. Bagaimana kalau Adli menyakitiku, atau malah membunuhku karena marahnya. Soalnya dia kan bukan termasuk orang yang berpendidikan tinggi, sehingga belum tentu mampu bernalar. Tapi aku hanya mampu berdoa dalam hatiku. Daripada aku marah-marah dan dia menjadi kalap, lebih baik kalau aku diam dulu.

Perjalanan yang rasanya begitu panjang itu akhirnya berakhir. Rupanya Adli telah membawaku ke sebuah motel murahan yang letaknya agak tersembunyi. Entah apa maunya. Tapi apapun maunya aku tidak mau panik dulu. Biarlah sementara kuikuti dulu apa yang ada dalam rencananya. Setelah melakukan pembayaran Adli terus membawa kendaraan yang kami tumpangi itu ke salah-satu ‘cottage’ yang letaknya paling pinggir. Setibanya di sana dipersilahkannya aku masuk, lalu dipesannya minuman ringan. Karena aku masih kenyang kutolak tawarannya untuk makan malam. Setelah duduk berhadapan dengan Adli aku mulai merasa tenang. Adli kelihatannya baik-baik saja, tidak terlihat bahwa dia sedang marah, atau bahkan merencanakan hal-hal yang bisa membahayakan diriku. “Ada apa sih Adli, kok saya di bawa ke tempat yang begini asing, mana gelap lagi.” Dengan tajam Adli menatapku, … “ah nggak ada apa-apa neng, hanya mau ngomong-ngomong aja.” Dalam pembicaraan yang urutannya tidak begitu runut itu baru aku menyadari kekeliruan permainanku di Sumedang beberapa minggu yang lalu. Rupanya sekembalinya ke Bandung Adli telah berkonsultasi dengan beberapa sesepuhnya, terutama untuk minta pendapat apakah perbuatannya bersamaku waktu itu melanggar perintah agama atau tidak.

Sekarang dia sudah mempunyai kesimpulannya sendiri. “Begini neng,” … katanya menerangkan, … “apa kita melakukan sepenuhnya atau terbatas seperti waktu itu, tetap aja menyalahi aturan.” Merasa mendapat angin segera kukemukakan pendapatku, … “Kalau begitu ya kita nggak boleh lagi kan melakukannya.” Adli hanya tersenyum. Katanya, … “Pendapat Adli lain neng,” … lalu lanjutnya lagi, … “kan kita sudah berbuat sesuatu, biarpun neng Mimien hanya Adli gituin mulutnya.” Dasar si Adli cara mengemukakan masalahnya kenapa brutal sekali, begitu pikirku. “Terus bagaimana?” Tanyaku pada Adli meminta ketegasan. “Yah karena memang udah kepalang salah Adli mau minta semuanya dong.” Kata-katanya membuatku terkejut seperti disambar geledek. “Aduh jangan Adli, jangan sampai kesitu dong, kan saya sudah bersuami.” Tapi dengan keras kepala Adli terus mengejarku, … “Kalau begitu kenapa neng Mimien ngajak Adli gituan?” Lalu katanya dengan tegas, “Sekarang saya menuntut semuanya!” Dengan sorot mata yang semakin tajam ia menatapku.

Lalu diucapkannya sesuatu yang membuat aku merasa merinding. Katanya, … “Apa neng Mimien maunya Adli perkosa?” Tubuhku terasa lemas, rasanya aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Melihat wajahku yang pasti sudah menjadi pucat pasi Adli menghampiriku. Aku mencoba berontak, tapi rasanya tenagaku sudah menguap entah kemana. Tersenyum agak menyeringai Adli, seperti senang melihat keadaanku begitu tak berdaya. Lalu katanya, “Obatnya manjur ya neng! Tapi nggak pusing kan?” Lalu dibimbingnya aku menuju ke ranjang, yang sepreinya tampak sudah agak belel itu. “Aduh tolong Adli, jangan dong, jangan.” Tapi Adli hanya diam saja, bahkan dengan tenang direbahkannya tubuhku ke atas pembaringan.

Pelan-pelan dan satu persatu dilepasnya busanaku. Sesekali dikecupnya tubuhku di sana sini. Aku yang sudah lemas sekaligus ketakutan lama kelamaan semakin merasa pasrah. Mulai kucoba untuk menikmati apa yang sedang dilakukan Adli. Walaupun hatiku terasa memberontak, kusadari kemaluanku sudah mulai agak basah. “Neng, neng Mimien, udah lama rasanya Adli nggak nyiumin badannya neng Mimien yang begini wangi.” Aku hanya tersenyum lemah, sekarang aku sudah bersikap menyerah. Maka Adli memulai apa yang rupanya telah dipersipkannya dengan matang. Diemut-emutnya puting dadaku dengan ganas, dicium-ciumnya seluruh tubuhku. Pada waktu bibir dan lidahnya menyapu betis dan pahaku aku sampai menggigil kegelian. Puncaknya adalah pada waktu ia menjilati ‘vagina’ku.

Lidahnya ganas menyapu, mulai dari selangkanganku hingga ‘bibir kemaluan’ku. Mulanya rasa geli yang kualami masih dapat aku tahan. Tapi akhirnya daya tahanku bobol juga. “Aduh Adli udah … udah … ampun Yasmin nggak tahan!” Begitu saja aku berteriak, sementara tubuhku menggeliat-geliat mencoba membebaskan diri dari cengkeraman laki-laki ganas ini. “Neng Mimien, neng Mimien, Adli kangen sekali,” … katanya sambil menciumi bulu halus kemaluanku. Lalu sambungnya lagi, … “Kenapa selama ini neng Mimien menjauhi Adli?” Terbit juga rasa penyesalan di hatiku, berbarengan dengan semakin meningkatnyanya gairah birahiku. Kutatap laki-laki tampan tapi lugu itu, lalu kuambil keputusan yang tidak lagi mengandung keraguan. “Adli, siniin punya kamu, aku juga udah kangen!” Suaraku terdengar agak serak, dan nafaskupun memburu kencang. Sekejap Adli terdiam, seperti tidak percaya ia menatapku. Lalu ia menegakkan tubuhnya dan beranjak mendekati wajahku. Segera tanganku menyambar tali ikat pinggangnya, dan segera kulepaskan.

Rasanya tidak sabar aku karena masih harus menurunkan ‘ruitslijting’ celana ‘jeans’ nya dan melorotnya ke bawah. Padahal setelah itu di baiknya masih ada celana dalam lagi. Aku merasa sudah sangat tidak sabar. Maka sebelum seluruh celananya berhasil kulepas turun aku sudah memerosotkan celana dalamnya. Wajah Adli terlihat senang melihat tanganku begitu bergairah menggenggam ‘alat kejantanan’nya yang besar dan tegang mencuat itu. Langsung kuciumi dan kuusapi dengan bibirku. Diikuti jilatan lidahku yang terus menerus bergerak dengan lincahnya. Karena Adli berada pada posisi mengangkang di atasku maka aku dapat menikmati semua ‘kepunyaan’nya. Selangkangan dan ‘buah zakar’nya sempurna kujilati, hingga membuat Adli merintih-rintih keenakan.

Tapi tidak lupa juga ia pelan-pelan melepas celananya, yang tadi baru sampai kulorot kebawah. Setelah itu sementara aku mengulum ‘bonggol kemaluan’nya, dan kemudian mengemut-emut seluruh ‘batang kejantanan’nya itu dalam mulutku, Adli melepas BH-ku yang masih terpasang. Dengan lembut diramas-remasnya payudaraku, sambil sesekali memainkan putingnya. Sejenak sempat kulirik wajahnya sedang tersenyum-senyum kecil. Rupanya ia sedang memandangi aku yang sedang melahap ‘daging keras’nya. Sempat agak merasa malu juga aku dibuatnya, tapi karena sedang asyik-asyiknya kuputuskan untuk berlaga seolah-olah tidak sadar. Begitulah ternyata malam ini aku dan Adli kembali dipertemukan. Barangkali memang sudah jodohnya.

“Neng, neng Mimien, sekarang Adli masukin ya?” Suara pemuda itu terdengar mengusikku. Sempat terbersit keinginan di hatiku untuk menolaknya, tapi akhirnya birahiku yang sudah sangat memuncak mendorongku mengambil keputusan yang berbeda. Kutatap dia dengan lembut, lalu kuiyakan permintaannya. “Tapi pelan-pelan ya Dli, soalnya, soalnya,” … aku kebingungan memilih kata-kata yang tepat. Adli tersenyum bangga. Diteruskannya apa yang kumaksud dengan berkata, … “Soalnya belum pernah dimasukin yang sebesar ini ya?” Aku hanya dapat mengangguk pelan, rupanya Adli telah dapat membaca pikiranku. Kemudian Adli membuka selangkanganku, sementara mengemut-emut puting dadaku, seperti seorang bayi besar yang sedang dahaga.

Diusap-usapnya bibir kemaluanku dengan ‘ujung kejantanan’nya. Aku menggelinjang kegelian, sudah merasa ingin, tapi juga agak takut. Ketika Adli mendorong kepunyaannya itu masuk, rasa pedih yang amat sangat melanda seluruh tubuhku. Ternyata ‘kepunyaan’ku agak sempit dibanding ‘kepunyaan’nya. “Aduh Adli sakit …, sambil kugigit bibirku. Dia berhenti sejenak, lalu mulai mendorong ‘alat kejantanan’nya kembali. Setelah kurang-lebih masuk setengahnya tiba-tiba Adli mendorong agak keras, hingga membuatku menjerit. “Aduh, aduh, aduh, sakit sekali sayang,” … sambil kucoba merenggangkan pahaku selebar-lebarnya. Rasa pedih yang kuderita berlangsung selama kurang-lebih dua menit, sebelum berangsur-angsur mereda. Lubrikasi dari liang kemaluanku akhirnya semakin mempermudah gerakan ‘alat kejantanan’ Adli, sehingga dapat bergerak maju mundur lancar.

Aku merinding dan menggigil dilanda kenikmatan yang baru sekali ini aku rasakan. Belum pernah ‘liang kewanitaan’ku menerima kunjungan ‘benda asing’ milik lelaki yang sebesar ini. Karena memang selama ini pengalaman yang kumiliki hanyalah dengan mas Heru. Dibanding suamiku kelebihan Adli bukan hanya karena ukuran ‘alat vital’nya yang besar, tetapi dia sendiri juga pandai memainkannya. Akibatnya baru sepuluh menit saja aku sudah mencapai orgasmeku yang pertama. Rasanya tubuhku melambung tinggi, dan terbawa melayang entah kemana. Tanpa kendali lagi aku menjerit-jerit memanggil nama pemuda itu, sambil sesekali menggigit-gigit lengannya. Setelah perasaanku mereda baru kusadari bahwa Adli masih dengan gagah menunggangiku.

Terpaksa kuatur nafas dan posisi diriku, supaya bisa mengimbangi keperkasaannya. Menjelang Adli mencapai klimaksnya masih sekali lagi aku dilanda gelombang nikmat orgasme kewanitaanku. Maka ketika kudengar Adli berkata, … “sekarang Adli lepas ya,” … aku hanya dapat mengiyakannya saja. Begitu kukatakan, … “Iya Dli, iya sayang, tolong sekarang aja … akh,” … langsung Adli memperhebat gerakan menghunjamnya. “Neng, neng Mimien, neng … aduh neng … aaahhh,” … demikian Adli meracau sambil mendorong ‘kepunyaan’nya sedalam-dalamnya memasuki ‘liang’ kewanitaanku. Sangat erat ia memeluk tubuhku, sementara jari-jariku meremas punggungnya, karena ‘orgasme’ yang juga sedang kualami. Setelah beberapa saat berlalu, barulah gerak dan erangan kami berdua mereda. Adli masih membiarkan kepunyaannya di dalam kepunyaanku selama beberapa saat, setelah itu baru ditariknya keluar. Sebagian dari ’siraman’nya tadi ikut mengalir tertumpah di selangkanganku.

Nampaknya melakukan hubungan yang memuaskan itu cenderung membuat diriku lapar. Atas permintaanku Adli memesan hidangan dan minuman dari restaurant. Begitu tiba langsung kusantap dengan sepuas-puasnya. Setelah itu kuminta Adli untuk mengantarku pulang. Tetapi ternyata dia belum mau, karena katanya belum puas menyetubuhiku. Terpaksa kulayani dia sekali lagi. Ternyata permainan yang kedua ini juga tidak kalah dibanding yang pertama tadi. Kembali ia membawaku ke puncak ‘orgasme’ku, sebelum ia sendiri menyiramkan ‘air mani’nya ke ‘liang rahim’ku untuk kedua kalinya. Aku sungguh-sungguh merasa puas, kuyakin begitu pula dengan Adli. Akhirnya baru jam 1 malam aku memasuki rumahku. Untunglah mas Heru sudah tertidur lelap, sehingga aku terlepas dari kewajiban untuk menjelaskan apapun padanya.